Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Monday, December 31, 2012

Inovasi Pembelajaran di Pesantren

DALAM konteks pendidikan, baik formal maupun nonformal, keberadaan perpustakaan menempati posisi strategis dalam meningkatkan kualitas intelektual masyarakat terlebih di era modern seperti sekarang ini. Di dunia pesantren, keberadaan perpustakaan sebenarnya berfungsi sebagai sumber dan sarana pembelajaran yang efektif untuk menambah wawasan dan pengetahuan para santri dengan ragam bacaan yang ada. Tersedianya beragam bacaan di perpustakaan, memungkinkan setiap santri memilih bahan bacaan yang sesuai dengan minat, hobi dan informasi lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ironinya, meskipun perpustakaan dinilai penting, masih minim sekali pondok pesantren yang mau memanfaatkan dan melibatkan perpustakaan dalam proses pembelajaran para santri.

Rekaman sejarah membuktikan bahwa Islam pernah berada pada masa keemasan salah satunya karena keberadaan perpustakaannya. Pada zaman Khalifah Harun al-Rosyid berdiri Khizanah Alhikmah yang berfungsi sebagai perpustakaan serta menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat pembelajaran. Pada masa kholifah Almakmun, Khizanah Alhikmah diubah menjadi Baitul Hikmah. Pada masa ini fungsi Baitul Hikmah ditingkatkan lagi menjadi pusat kegiatan studi, riset astronomi dan matematika.

Jika kita cermati lebih lanjut, sistem pembelajaran di beberapa pesantren masih tersentral pada sosok kiai, sementara perpustakaan yang notabene sebagai salah satu sarana pembelajaran masih dinomorsepatukan. Hal ini bisa kita lihat pada kondisi perpustakaan di pesantren pada umumnya. Beberapa pesantren masih ada yang belum mempunyai perpustakaan, kalau pun ada kondisinya tidak terawat layaknya gudang.

Sistem pembelajaran di pesantren tentu akan berjalan lebih maksimal jika memadukan pembelajaran secara langsung oleh kiai dan perpustakaan. Sistem pembelajaran ini disebut sebagai model pembelajaran berbasis perpustakaan (library- based learning). Pembelajaran berbasis perpustakaan adalah sebuah model pembelajaran dan perpustakaan merupakan satu kesatuan dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran ini meletakkan perpustakaan sebagai sumber dan pembelajaran bagi santri dan kiai. Adapun kompetensi yang akan dicapai adalah literasi informasi (information literacy) yaitu sebuah kemampuan dalam mengelola dan mengomunikasikan informasi, lebih sekedar dari mampu baca tulis dan berhitung (calistung).

Jika selama ini kebanyakan santri masih kental dengan budaya menghafal apa yang telah disampaikan oleh kiai, maka model pembelajaran ini menjadikan santri semakin berwawasan luas serta kritis terhadap perkembangan zaman. Santri tetap mendapatkan keteladanan dari sosok kiai, juga bisa mempunyai wawasan luas yang nantinya sangat berguna bagi mereka saat terjun di masyarakat.

Perpustakaan pesantren bisa menyediakan bahan bacaan pengayaan, misalnya buku-buku pertanian, kesehatan, teknologi, dan pengetahuan umum lainnya. Hal ini tentunya akan sangat berguna bagi para santri. Sehingga nantinya ilmu agama yang dipelajari di pesantren juga diimbangi dengan pengetahuan umum.

Selain menyediakan bahan bacaan, perpustakaan pesantren bisa melengkapinya dengan kegiatan tulis-menulis (jurnalistik). Kegiatan tulis-menulis ini kiranya menjadi bagian yang penting di dalam pesantren. Pasalnya, banyak sekali ide maupun pemikiran-pemikiran yang bisa dilestarikan melalui tulisan.

Jika dicermati lebih lanjut, tradisi tulis-menulis terbilang masih sangat lemah di pesantren. Padahal, kegiatan ini adalah salah satu tradisi ilmiah yang dimiliki ilmuan muslim pada zaman dahulu. Misalnya, Ibnu Sina, Ibn Rusyd, Alkhowarizmi, Imam Bukhori, Imam Muslim, dan tokoh-tokoh besar Islam lainnya. Di Indonesia, juga sangat banyak sekali ulama yang mempunyai tradisi tulis- menulis yang kuat, misalnya Syeikh Muhammad Arsyad Albanjari, Syeikh Yusuf Almakassary, Syeikh Hasyim Asy'ari, dan masih banyak lagi.

Sebagai seorang santri yang kaya akan pengetahuan Islam, tentu harus mampu meneruskan tradisi ilmiah yang telah dicontohkan para ulama terdahulu. Untuk itu, tentu santri harus mempunyai kemampuan tulis menulis sebagai salah satu syarat untuk meneruskan tongkat estafet pemikiran Islam di masa mendatang.

Dengan adanya kegiatan tulis menulis ini tentu akan menjadikan para santri aktif dan lebih terdorong untuk mau menggunakan perpustakaan guna mencari sumber referensi. Selain itu, rasanya akan semakin lengkap jika para kiai maupun guru bantu di pesantren mau mengoneksikan materi pembelajaran yang disampaikan dengan sumber-sumber pendukung yang ada di perpustakaan.

Dengan adanya konsep library- based learning di pesantren, semoga proses pembelajaran bisa berjalan lebih maksimal serta mampu menjadikan para santri menjadi insan yang berwawasan luas, bermoral, kritis, dan berkahlak mulia serta mampu mengembalikan masa kejayaan Islam seperti zaman dahulu. Semoga!

Dimuat di Koran Galamedia 10 Desember 2012

Ketika Buku Menjadi Racun

’’BUKU adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran

manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar’’, demikian Ali Syariati mengemukakan peran penting buku.

Buku adalah alat ilmiah dalam dunia pendidikan. Selama ini buku menjadi sarana pembelajaran yang belum tergantikan oleh apa pun. Buku dan proses pembelajaran ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Buku akan menjadi bermanfaat jika digunakan untuk belajar, sedangkan proses pembelajaran pun akan berjalan dengan maksimal jika ada buku.

Dewasa ini, pencorengan dunia pendidikan kembali terjadi. Fenomena ini diwarnai dengan beredarnya buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang menceritakan tentang kisah ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’ yang mengandung cerita istri simpanan. Ironisnya, cerita pada buku LKS ini diperuntukan kepada anak-anak kelas 2 SD, di mana saat usia anak mulai belajar membaca dan memahami realita kehidupan. Apa yang mereka baca akan berdampak pada perilaku mereka sehari-hari.

Jika kita merujuk pada apa yang diungkapkan Ali Syariati, cerita Bang Maman bukan hanya sebuah racun mematikan bagi moral generasi penerus bangsa, tetapi juga menjadi gambaran sejauh mana kondisi pendidikan di Indonesia.

Selektif Memilih Buku

Sebagaimana kita ketahui, buku adalah jendela dunia, juga sebuah samudera ilmu pengetahuan. Dengan menyelaminya, kita akan mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah kita temui sebelumnya. Buku juga sebuah portal untuk memasuki dunia lain di mana kita tidak perlu susah payah datang langsung ke tempat aslinya. Dalam sejarah,  keberadaan buku mendapatkan penghormatan yang sangat mulia. sebagaimana dikatakan oleh Syekh Az-Zarnuji bahwa ’’sebagian dari memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan buku’’. Sebuah ungkapan sederhana namun sarat makna jika dikaji lebih dalam.

Barbara Tuchman mengatakan, buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Dan seorang teolog Denmark, Thomas V Batholin, menambahkan, tanpa buku Tuhan diam, keadilan terbenam, sains alam macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan buku, kepribadian seseorang bisa terbentuk, dan karena buku pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta.

Baik pihak sekolah maupun pemerintah harus saling membahu mengevaluasi isi buku-buku yang diperuntukan bagi siswa. Misalnya buku- buku untuk anak usia 5-8 tahun haruslah buku yang mempunyai nilai-nilai moral yang kuat, misalnya tentang pentingnya persahabatan. Buku tentang persahabatan jauh lebih penting dari pada buku tentang istri simpanan. Buku-buku tersebut akan jauh lebih menarik jika disajikan dalam bentuk picture books (buku bergambar) dan easy-to-read books (buku yang mudah dibaca).

Krisis Moral

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlak mulia. Namun sekali lagi fungsi ini tampak belum berjalan sebagaimana mestinya. Krisis moralitas dan intelektualitas masih terus mewarnai dinamika pendidikan bangsa ini. Mulai dari aksi tawuran antarsiswa hingga guru yang melakukan aksi kekerasan terhadap muridnya.

Indonesia adalah bangsa yang besar serta kaya akan sejarah dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Selain itu, Indonesia mempunyai adat istiadat, bahasa dan agama yang beraneka ragam. Nilai-nilai luhur bangsa seperti ini lah yang seharusnya dimiliki dunia pendidikan kita.

Nilai-nilai luhur bangsa akan jauh lebih bermanfaat ketimbang cerita ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’. Karena bagaimanapun, cerita ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’ adalah bentuk dari kemiskinan intelektualitas bangsa ini yang harus dibuang jauh-jauh.

Sebagai langkah awal untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa adalah melalui buku. Sekali lagi, buku menjadi sarana yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa. Langkah ini harus diikuti oleh para guru untuk gemar membaca. Bukan hanya seruan belaka untuk gemar membaca, melainkan disertai dengan langkah nyata.

Sebagaimana pepatah Indonesia mengatakan ’’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’’. Jika seorang guru yang tidak suka membaca memberi perintah kepada siswa untuk gemar membaca, bagaimana hal ini bisa terlaksana? Seorang guru yang baik akan memberi teladan baik bagi muridnya, beti pula sebalinya, guru yang tidak baik akan memberikan teladan yang tidak baik.

Pendek kata, guru adalah panutan siswa. Untuk itu, seorang guru harus banyak membaca.

Selain memberi contoh kepada siswa, juga agar mengetahui isi buku yang tepat untuk dibaca siswa. Memberi contoh kongkret adalah langkah yang sangat berguna bagi siswa, karena dengan dimuali dari pribadi guru yang gemar membaca akan membentuk karakter siswa untuk cinta baca, sehingga mereka nantinya akan tumbuh jadi pribadi yang bijaksana.

Berkaitan dengan itu, seorang cerpenis dan novelis Austria, Franz Kafka, mengatakan, buku harus menjadi kampak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita.

Dimuat di Koran Suara Merdeka 05 Mei 2012

Memaksimalkan Perpustakaan


MEI kemarin, dikenal sebagai bulan buku. Ada beberapa hari penting di bulan Mei, di antaranya tanggal 17 Mei yang diperingati sebagai Hari Jadi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) sekaligus Hari Buku Nasional. Hari Jadi Perpusnas kali pertama diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef pada tahun 1980.

Selanjutnya pada tanggal yang sama, Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fajar meresmikan Hari Buku Nasional atas ide dari masyarakat perbukuan guna memacu minat baca masyarakat Indonesia. Sekaligus menaikkan penjualan buku di Indonesia. Pada hakikatnya, buku dan perpustakaan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena bagaimanapun keberdaan perpustakaan tidak bisa dilepaskan dari buku-buku pengetahuan.

Keduanya sama-sama mempunyai peran yang fital dalam proses pembelajaran. Berdasarkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan pasal 3 menjelaskan bahwa fungsi Perpustakaan sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Ironinya, pemahaman seperti ini masih sangat dangkal. Akibatnya, perpustakaan masih saja dijadikan sebagai gudang buku, bahkan dianggap tempat pembuangan orang bermasalah.

Sekolah tanpa perpustakaan ibarat sebuah raga tanpa jantung. Di dalam perpustakaan, seorang siswa bisa mempelajari apa saja yang diinginkan. Pengetahuan baik yang dijarakan di bangku sekolah maupun tidak, semuanya ada di perpustakaan.

Dengan adanya perpustakaan, proses pembelajaran bisa berjalan secara maksimal. Maka tidak heran jika perpustakaan disebut sebagai pusat pembelajaran (learning center). Seorang guru harus mampu mendorong siswanya untuk mau memanfaatkan perpustakaan. Misalnya dengan menjadwalkan jam kunjung perpustakaan satu jam setiap minggu.

Selain itu, seorang guru juga harus mampu mengintegrasikan mata pelajaran dengan sumber-sumber buku pengetahuan di perpustakaan. Untuk melaksanakan ini semua, seorang guru bisa bekerjasama dengan pustakawan sekolah agar mendapatkan hasil maksimal. Seharusnya perpustakaan menyediakan tempat yang nyaman dan kondusif untuk belajar.

Dengan begitu siswa yang berkunjung ke perpustakaan menjadi kerasan dan serasa di dalam taman yang dipenuhi bermacam-macam bunga, yaitu buku. Desain perpustakaan yang menarik tentu menjadikan siswa lebih termotivasi untung datang ke perpustakaan.

Dengan demikian, tujuan perpustakaan sebagaiaman tertera dalam UU No. 43 tahun 2007 pasal 4 dapat berjalan sebagai mestinya, yaitu untuk meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan diperingati Hari Buku Nasional dan Hari Jadi Perpusnas, 17 Mei, menjadi saat yang tepat untuk memaksimalkan fungsi perpustakaan, yaitu untuk meningkatkan minat baca dan sebagai pusat pemebalajaran (learning center). Semoga!

Dimuat di Koran Suara Merdeka 11 Juni 2012