Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Monday, January 7, 2013

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener


Keberadaan akses internet di era digital memberi berbagai kemudahan bagi semua orang dalam mencari informasi. Dalam hitungan menit bahkan detik informasi sudah bisa didapatkan dengan mudah. Bagi kalangan sivitas akademik, keberadaan akses internet menjadi berkah tersendiri dalam mencari sumber referensi. Di internet terdapat berbagai sumber referensi dalam berbagai format yang dapat diakses kapan pun dan di mana pun.
            Pada saat membuat karya tulis ilmiah, sumber referensi yang didapatkan melalui internet harus dicantumkan ke dalam catatan bibliografi atau daftar pustaka. Sumber referensi tersebut berupa alamat dari sebuah website yang dikutip isinya.
            Dalam penulisan daftar pustaka yang bersumber dari internet, kita akan menemui alamat website yang mempunyai karakter tulisan sangat panjang. Tentu hal tersebut akan menyulitkan kita dalam mengingat dan membuat daftar pustaka.
            Untuk memudahkan dalam mengingat dan menuliskan alamat website dengan karakter tulisan yang sangat panjang, kita dapat menggunakan alat bantu berupa URL Shortener. URL Shortener merupakan sebuah aplikasi online yang berfungsi untuk menyingkat (shorter) alamat website yang panjang menjadi lebih singkat 5 atau 6 karakter.

Ada banyak sekali URL Shortener yang dapat kita gunakan. Berikut  beberapa jenis URL shortener yang sudah banyak digunakan, http://goo.gl/, http://is.gd/, http://tinyurl.com/, http://bitly.com/, http://3.ly/, http://adf.ly/, dan masih banyak lagi.

Pada umunya URL Shortener ini bersifat gratis. Cara menggunakannya pun sangat mudah. Terlebih dahulu kita membuka alamat URL Shortener melalui internet, kemudian kita copy-kan alamat website yang ingin disingkat (shorten) ke dalam kotak box yang telah disediakan oleh masing-masing URL Shortener. Setelah alamat tersebut dimasukan, kita klik “shorten”. Secara otomatis alamat website yang awalnya berkarakter panjang akan menjadi lebih singkat.

            Keuntungan yang didapatkan dalam menggunakan URL Shortener ini adalah memudahkan kita dalam mengingat alamat dai sebuah website yang sangat panjang menjadi lebih singkat. Selain itu, dengan karakter tulisan yang lebih singkat memudahkan kita dalam proses pengetikan, terutama bagi mereka yang masih pemula.[]

Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat, Senin 07 Januari 2013

Thursday, January 3, 2013

Belajar dari Sosok Epistoholik


MEREKA adalah para penulis, tetapi bukan demi tujuan eksis maupun narsis, tidak ingin tenar, apalagi terkenal. Juga bukan karena bayaran, alias “malaikatan”. Mereka hanya menyuarakan isi hati. Ya, mereka adalah para komunitas epistoholic.

Mungkin di antara kita masih ada yang belum mengenal istilah tersebut. Epistoholic adalah sebutan bagi orang yang kecanduan menulis di  kolom surat pembaca. Di Indonesia, komunitas epistoholic ini didirikan oleh Bambang Haryanto pada 2003. Hingga sekarang, komunitas Epistoholic Indonesia (EI) tersebar di beberapa kota; Bandung, Batang, Bojonegoro, Jatisrono, Jombang, Kaliurang, Karanganyar, Kendal, Magelang, Malang, Purwodadi, Salatiga, Semarang, Solo, Sragen, Yogyakarta, Wonogiri. Bahkan, Melbourne, Australia, menjadi salah satu markas EI.

Pada dasarnya, menulis adalah salah satu tradisi ilmiah bagi civitas akademik. Ironinya, hingga sekarang, mahasiswa yang dianggap sebagai agen perubahan, masih terhitung minim dalam bidang tulis menulis di media masa. Jika dicermati lebih jauh, banyak sekali media yang menyediakan kolom-kolom khusus bagi mahasiswa. Kalaupun ada yang belum percaya diri (PD), kolom surat pembaca bisa menjadi alternatifnya.

Mengapa surat pembaca? Ya, surat pembaca adalah salah satu kolom di media masa tempat setiap lapisan masyarakat bebas menuliskan dan menyampaikan unek-uneknya ke hadapan publik, mulai dari petani hingga profesor sekali pun.

Disadari atau tidak, keberadaan kolom surat pembaca mempunyai manfaat yang sangat besar bagi perubahan. Sebagaimana yang ditulis oleh Bambang Haryanto (2006), menurut Emanuel Rosen dalam bukunya The Anatomy of Buzz, mengutip hasil penelitian lembaga riset Roper Starch sejak tahun 1940-an, bahwa para penulis surat pembaca di AS tergolong sebagai the influential Americans, orang-orang Amerika yang berpengaruh (lihat di: http://episto.blogspot.com/).

Sebagai agen perubahan, tentu kita harus mampu menangkap sinyal positif keberadaan kolom surat pembaca. Di antaranya demi kemajuan bangsa, misalnya sebagai media publikasi, ataupun kritik sosial yang membangun. Sayangnya, hingga kini, masih belum banyak mahasiswa yang mau memanfaatkan kolom Surat pembaca ini. Entah mengapa, apakah karena tidak ada rewardnya, atau merasa remeh jika ada yang bilang, “Ah cemen, bisanya cuma menulis di kolom surat pembaca!” Padahal, keberadaan kolom surat pembaca bisa menjadi media efektif untuk berkontribusi, memberi pencerahan kepada publik demi sebuah perubahan yang nyata.

Pepatah Malaysia mengatakan bahwa perilaku ayam lebih baik dibanding perilaku penyu. Pepatah negeri jiran itu berbunyi, "Jangan jadi penyu yang bertelur ribuan butir tetapi senyap-senyap, melainkan jadilah ayam, hanya bertelur sebutir tetapi riuhnya sekampung.” Pepatah tersebut mengindikasikan bahwa sekecil dan sesederhana apa pun ide kita, sudah seharusnya kita suarakan melalui media. Sebesar dan sebagus apa pun ide kita, selama tidak dituangkan dan disuarakan melalui media, ide tersebut hanyalah pepesan kosong belaka.

Keberadaan kaum epistoholic tentu menjadi inspirasi tersendiri bagi kita. Mereka mengajarkan kepada kita bahwa menulis bukan selalu agar tenar dan terkenal. Menulis adalah panggilan hati untuk menuangkan pikiran dan gagasan demi sebuah perubahan. Mahasiswa, menulislah!

Dimuat di situs Okezone.com 27 November 2012

Mendambakan Gerakan ’’Pati Membaca’’

Selama ini ada anggapan bahwa kemajuan suatu wilayah dapat dilihat dari sejauh mana kualitas perpustakaannya. Keberadaan perpustakaan juga diyakini mampu memberi perubahan positif terhadap kemajuan suatu wilayah.
Tidak heran rasanya jika di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, memberi prioritas lebih terhadap perpustakaan. Bahkan di setiap sudut kota banyak ditemui perpustakaan dengan beragam nama, mulai Sudut Baca (reading corner), Pondok Baca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Kafe Buku, Perpustakaan Masyarakat, dan sebagainya.
Berdasarkan data dari Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah (www.arpusda.jatengprov.go.id), di Pati terdapat 1.130 perpustakaan yang terdiri atas 385 perpustakaan SD/MI, 335 perpustakaan desa/kelurahan, 198 perpustakaan SMP/MTs, 160 perpustakaan SMA/MA, 20 perpustakaan masjid, 10 perpustakaan khusus instansi, 7 Taman Bacaan Masyarakat (TBM), 6 perpustakaan perguruan tinggi (PT), 4 perpustakaan pondok pesantren (Ponpes), 3 perpustakaan gereja, 2 perpustakaan vihara.
Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Pati yang kurang lebih 1.256.182 (www.patikab. go.id), maka satu perpustakaan diperuntukan bagi sekitar 1.110 orang.
Sayangnya dari 1.130 perpustakaan yang ada, hanya sekitar 367 yang merupakan perpustakaan umum yang bisa diakses secara bebas oleh masyarakat.
Sedangkan 763 lainnya adalah perpustakaan instansi, sekolah dan perguruan tinggi yang hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja. Itu pun dengan catatan semua perpustakaan yang ada betul-betul berjalan, bukan sekedar aksesoris belaka yang dibiarkan tanpa ada kegiatan. Jika dilihat lebih dalam sejauh mana kegiatan yang ada dan kualitasnya seperti apa, pasti jumlah tersebut akan menyusut. Jumlah tersebut tentu bukanlah ukuran yang ideal dan patut untuk direnungi bersama.
Sebagai warga Pati, saya mendambakan menjamurnya perpustakaan yang berfungsi sebagai ruang baca publik. Baik di tingkat kecamatan atau desa, jika perlu dalam satu RT terdapat satu perpustakaan.
Tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Upaya yang sinergis antara seluruh lapisan masyarakat dengan pemerintah sangat dibutuhkan untuk merealisasikan langkah tersebut.
Salah satu upaya memasyarakatkan perpustakaan dan me-numbuhkan minat baca adalah dengan adanya gerakan membaca. Gerakan mengajak warga untuk membaca serta memberi pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya membaca itu sendiri. Gerakan membaca tidak harus turun ke jalan. Kegiatan ini bisa dimulai dari tingkat keluarga, RT, desa maupun kecamatan.
Selama ini ketika mendengarkan kata perpustakaan bayangan kita masih tertuju pada sebuah ruangan yang berisi sekumpulan buku yang ditata di dalam rak. Padahal gambaran perpustakaan tidaklah sesempit itu.
Perpustakaan bisa didirikan di mana saja. Mulai mal hingga gardu ronda di setiap desa. Jika perlu, perpustakaan ada di setiap rumah warga.
Di era modern seperti ini, perpustakaan punya peran yang strategis dalam meningkatkan kualitas intelektual warga masyarakat. Berfungsi sebagai sumber dan sarana pembelajaran yang efektif untuk menambah wawasan dan pengetahuan dengan ragam bacaan yang ada. Tersedianya beragam bacaan di perpustakaan, memungkinkan setiap orang memilih bahan bacaan yang sesuai dengan minat, hobi dan kebutuhan mereka tanpa terkendala oleh waktu.
Pada dasarnya, fungsi perpustakaan tidak sebatas fasilitas baca, tetapi juga sebagai wahana rekreasi. Di dalam perpustakaan terdapat wahana imajinasi yang tidak akan kita dapatkan di tempat wisata.
Selain itu, ada banyak hal yang bisa dilaksanakan di perpustakaan, mulai kegiatan entrepreneur, creative writing, serta pelestarian kesenian lokal.
Pemahaman seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap pengelola. Perpustakaan tidak sekedar bangunan statis yang tidak bergerak, melainkan sebuah orga-nisme yang terus bergerak dan berkembang menyesuaikan dengan zaman.
Peran pemerintah pun sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat baca masyarakat. Misalnya dengan menyediakan tambahan fasilitas perpustakaan keliling yang memungkinkan dijangkau oleh warga desa, baik berupa motor pintar maupun mobil pintar. Bila perlu, pemerintah bisa membuat aturan khusus tentang adanya jam baca masyarakat (JBM) demi mewujudkkan kondisi masyarakat yang mempunyai budaya baca.
Nantinya, dengan adanya upaya seperti ini warga Pati bisa menjadi warga yang berwawasan, bermoral dan lebih maju. Tentunya dengan mengusung semangat gemar membaca. Semoga.


Dimuat di kolom Surat Pembaca, Suara Merdeka, 26 Desember 2012

Tuesday, January 1, 2013

SOEKARNO DAN TRADISI INTELEKTUAL


Bulan Juni disebut sebagai bulan Soekarno. Pasalnya, pada bulan ini terdapat hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. Diantaranya, pada tanggal 6  Juni 1901, presiden RI yang pertama, Soekarno, dilahirkan di lawang Seketeng, Surabaya. Kemudian pada 1 Juni 1945, Soekarno melahirkan istilah Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia. Masih pada bulan yang sama, 21 Juni 1970, Soekarno akhirnya meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Dari serangkaian peristiwa bersejarah tersebut, tidak heran jika bulan Juni disebut-sebut sebagai bulan Soekarno.
Soekarno adalah seorang legenda yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Nama Soekarno tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, bahkan bangsa Barat pun mengakuinya sebagai pemimpin yang konsisten terhadap perjuangan anti-kapitalisme dan anti-kolonialisme. Ia dikenal sebagai Bapak proklamator sekaligus menjadi Bapak Bangsa (Founding Fathers) yang banyak berperan dalam proses kemerdekaan RI. Ia juga dikenal sebagai seorang ideolog dan orator ulung yang karismatik, berwibawa dan dicintai rakyat.
Sebagai figur yang sangat berpengaruh, ada banyak pelajaran penting yang bisa kita ambil sosok Soekarno. Disadari atau tidak, keberhasilan Soekarno sebagai pemimpin tidak bisa dilepaskan dari semangat belajar yang tinggi. Soekarno adalah sosok yang mempunyai tradisi intelektual yang kuat. Ia adalah seorang ‘kutu buku’. Pada saat kuliah di Technische Hoge school (sekarang ITB), Soekarno tidak mau dibatasi oleh dinding-dinding ruangan kelas untuk terus belajar. Ia terus belajar dengan melahap berbagai buku, Sosial, ekonomi dan politik yang ada di perpustakaan.
Beberapa buku yang mempengaruhi pemikiran Soekarno adalah karya karya Sun Yat Sen yang berjudul San Min Chu-I, serta buku-buku karya Karl Marx dan Thomas Jefferson. Selain Itu, ia juga membaca buku tentang teori-teori Perang Pasifik yang berjudul Seapower in The pacific karya seorang ahli maritim berkebangsaan Inggris, Hektor Baywater. Juga buku Geopolitik des Pazifischen Ozeans karya Karl Haushofer dari Universitas Munchen, Jerman.
Selain ‘kutu buku’, Soekarno juga orang yang gemar menulis. Terbukti beberapa artikel yang dihasilkan Soekarno berpengaruh besar pada saat melawan penjajahan.  Diantaranya adalah artikel politik yang ditulis untuk melawan kolonialisme Belanda dan dimuat di surat kabar Oetoesan Hindia. Selain itu, ia juga pernah menulis artikel yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang dimuat dalam surat kabar Suluh Indonesia Muda.
Kegiatan membaca dan menulis memang tidak bisa dipisahkan dari diri Soekarno. Ia adalah orang mempunyai tradisi intelektual yang kuat. Terbukti dengan membaca dan menulis, Soekarno mampu menjadi orang yang berpengaruh di dunia.
Dengan adanya bulan Soekarno, menjadi saat yang tepat untuk kembali menyulut semangat belajar anak bangsa. Semoga kita, juga bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter dan mempunyai tradisi intelektual yang kuat. Semoga![]


Dimuat di SKH Kedaulatan Rakyat,  26 Juni 2012