Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Tuesday, November 24, 2015

7 Syarat Menjadi Penulis bagi Pustakawan

Jika Anda seorang pustakawan yang sedang belajar menjadi seorang penulis, terutama di media massa (surat kabar), ada beberapa syarat yang harus dimiliki. Apa saja syarat itu?. Silakan Simak video singkat saya ini:

Saturday, November 21, 2015

Mengembalikan Khitah Sekolah

Tulisan ini dimuat di Harian Umum Galamedia, Senin 16 Februari 2015

Mengembalikan Khitah Sekolah
Oleh: Moh Mursyid


Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan kembali mengingatkan kepada seluruh jajaran pendidikan di Tanah Air agar menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa. Mendikbud juga mengutarakan bahwa lembaga pendidikan harus meniru filosofi yang telah digagas oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menjadikan lembaga pendidikannya sebagai taman, yaitu tempat yang penuh kebahagiaan dan kesenangan dalam belajar (Republika, 26/01/2015).
Apa yang dikatakan oleh Mendikbud ini harus diapresiasi. Bagaimanapun, potret sekolah dewasa ini masih jauh dari kesan menyenangkan bagi siswa. Beberapa waktu yang lalu misalnya, beragam kasus yang merenggut masa depan anak justeru terjadi di sekolah. Mulai dari kasus asusila oleh oknum guru hingga kekerasan antar pelajar. Mendikbud menyatakan bahwa pada bulan Oktober dan November 2014 tercatat ada 230 kasus kekerasan terhadap pelajar (Kompas, 1/12/14).
Hal ini membuktikan bahwa sekolah tidak hanya belum mampu menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar para siswa, tetapi juga belum dapat menanamkan nilai-nilai luhur atau budi pekerti dengan baik. Ironis.

Oase Keilmuan

Pada dasarnya, sekolah harus mampu menjadi oase bagi dahaga keilmuan bagi para siswa. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, sekolah adalah sebuah taman di mana seorang siswa dapat memilih dan memetik buah dan bunga sesuai dengan keinginannya. Obyek dari pendidikan adalah manusia, jadi proses pembelajaran yang ada di sekolah haruslah mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan (memanusiakan manusia seutuhnya).
Konsep pendidikan yang menyenangkan layaknya sebuah taman, selain ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara, sebelumnya telah diterapkan oleh Gurudev Rabindranath Tagore, seorang penyair masyhur di India. Pada tahun 1901 ia mendirikan Ashram Shantiniketan di India yang kini berubah menjadi Universitas Internasional Visva Bharati. Ashram Shantiniketan adalah semacam sekolah dengan asrama yang diciptakan dengan suasana kedamaian.
Lewat model pendidikan ini, mampu melahirkan sosok besar seperti Indira Gandhi (Meteri India), dan Amatya Sen (intelektual ekonom India dan peraih nobel). Selain itu, banyak pengajar terkenal dari seluruh dunia yang kemudian datang dan mengajar di universitas tersebut.
Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Proses pendidikan di Indonesia selama ini masih berlaku dengan sistem tanam buah. Secara sederhana, buah dapat dimaknasi sebagai produk jadi dari sebuah proses, sehingga siswa hanya disuguhi dengan produk jadi yang berwujud mata pelajaran dan rumus-rumus tanpa tau bagaimana prosesnya awal terjadinya. Representasi seorang siswa akan sama persis dengan apa yang disampaikan oleh gurunya. Hal ini pula yang menyebabkan kreatifitas anak tidak berkembang dan terjadi kejumudan.
Romo Mangung Wijaya dalam Toto Rahardjo (2014) sudah pernah mengingatkan bahwa sekolah harus bersifat integral menuju ke manusia yang seutuhnya. Dalam hal ini, watak dan karakter menjadi hasil primer dari pendidikan. Kecerdasan dan keterampilan adalah hal penting dalam pembelajaran, namun selama proses pendidikan tersebut tidak mampu mendidik siswa menjadi manusia yang budiman, maka proses pendidikan tersebut harus dinamakan gagal.

Sosok Guru

Untuk mewujudkan sekolah layaknya sebuah taman adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen pendidikan yang ada di sekolah. Sosok guru adalah sosok kunci yang memegang peran penting dalam proses pembelajaran tersebut. Sosok guru yang kreatif, terbuka (open mind) terhadap perubahan sangat dibutuhkan.
Melalui tangan para guru inilah nantinya yang akan menentukan suasana sekolah apakah layaknya sebuah taman atau penjara yang membelenggu anak dari kreatifitas. Menarik dan tidaknya sebuah proses pembelajaran tidak semata bertumpu pada buku teks pelajaran, melainkan bertumpu pada sosok guru yang mampu menyampaikan dengan menarik dan kreatif sehingga anak-anak menjadi lebih semangat dalam belajar.
Dengan demikian, sekolah akan mampu menjadi pintu gerbang bagi para generasi penerus bangsa menuju manusia seutuhnya yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Bisakah hal tersebut kita wujudkan? Di sinilah kita perlu melihatnya kembali dalam upaya mengembalikan esensi pendidikan kepada khitah yang sesungguhnya, yaitu menjadi taman yang akan mewujudkan manusia seutuhnya. Semoga!.[]


Friday, November 20, 2015

Mengawal Bonus Demografi

Tulisan ini dimuat di
SKH Kedaulatan Rakyat, Jum'at 20 November 2015.

Mengawal Bonus Demografi
Oleh: Moh. Mursyid

AKSI kekerasan seakan tak pernah henti. Dalam beberapa bulan terakhir ini kita seakan ditunjukkan dengan kasus kekerasan anak yang sangat ‘mengerikan’. Mulai kasus Engelin di Bali, siswa SD meninggal di pinggir jembatan Desa Bulurejo Wonogiri hingga mayat dalam kardus di Kalideres. Bukan hanya orang dekat pelakunya. Pelaku pembunuhan itu ada juga yang orangtuanya.

Melihat beragam kasus tersebut, aksi kekerasan terhadap anak dari waktu ke waktu tidak hanya semakin bertambah jumlahnya, tetapi juga semakin biadab. Bentuk kekerasan terhadap anak semakin beragam. Mulai kekerasan fisik dan psikis, perdagangan manusia (human trafficking), penelantaran, hingga kekerasan seksual bahkan pembunuhan.

Data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak 2014 menyebutkan terdapat 21.689.787 kasus pelanggaran terhadap hak anak. Sebanyak 42-58% merupakan pelanggaran kejahatan seksual. Selebihnya, kasus kekerasan fisik, penelantaran anak, eksploitasi ekonomi, perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.

Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa angka kekerasan terhadap anak di Indonesia masih sangat tinggi. Hal ini tentu harus menjadi perhatian banyak pihak, terutama pemerintah. Bagaimanapun anak adalah aset bangsa yang harus dijaga dan dilindungi keberadaannya dari beragam aksi kekerasan. Melalui tangan anakanak pula bangsa ini akan dipimpin nantinya. Jika mereka tumbuh dengan nilai-nilai kebaikan, maka mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang baik pula.

Masa Puncak

Pada kurun waktu 2020-2030, Bangsa Indonesia akan mengalami masa puncak bonus demografi. Bonus demografi ini muncul sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif, yaitu rentang usia 15-64 tahun. Pada saat itu, jumlah penduduk dengan usia produktif sangat melimpah.

Melimpahnya sumber daya manusia (SDM) produktif merupakan suatu berkah. Besarnya jumlah penduduk yang potensial untuk bekerja berperan sebagai mesin pertumbuhan bangsa. Dengan bonus demografi, Bangsa Indonesia dapat melakukan percepatan pembangunan dalam berbagai bidang, mulai dari sosial hingga ekonomi.

Meski demikian, berkah ini bisa saja berbalik menjadi bencana. Banyaknya jumlah penduduk usia produktif bisa saja menjadi beban berat yang harus ditanggung bangsa ini. Terbatasnya lapangan pekerjaan akan menimbulkan banyaknya jumlah pengangguran. Jangan sampai anak-anak nantinya menjadi generasi di usia produktif yang tidak produktif karena tidak dapat memberikan sumbangsihnya bagi negara dan masyarakat di sekitarnya.

Membekali Anak

Masih cukup waktu untuk mempersiapkan anak-anak sebelum masa puncak bonus demografi tiba. Salah satu agenda besar persiapan yang harus dilakukan adalah dengan membekali anak-anak dengan berbagai pengetahuan. Selain tentu saja, menjaga mereka dari beragam aksi kekerasan yang dapat merampas masa depan.

Masing-masing elemen mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah harus dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam menjaga anak-anak dalam proses pertumbuhannya. Mulai dari pemberian perlindungan, pendidikan dan penghidupan yang layak. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak dapat melalui masa-masa pertumbuhannya dengan baik. Sementara itu, pemerintah harus mengambil langkah tegas kepada siapa saja yang terbukti melakukan aksi kekerasan terhadap anak.

Dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 telah diatur perihal ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan terhadap anak, mulai dari penelantaran, pelecehan seksual, penculikan, dan seterusnya. Hanya saja, selama ini sanksi hukum tersebut masih sangat lemah. Untuk mengurangi dan menghapus kekerasan terhadap anak, mestinya pemerintah harus memberikan hukuman seberat-beratnya untuk memberikan efek jera. Misalnya dengan memberikan hukuman mati atau dikebiri.

Hal ini mengingat betapa berharganya jiwa dan masa depan anak kita untuk bangsa ini. Anak-anak adalah penerus perjuangan bangsa. Pada pundaknya kita sandarkan harapan dan masa depan bangsa. Jika mereka tumbuh dalam keterpurukan, bisa kita bayangkan betapa suramnya masa depan bangsa ini. []

Tuesday, November 17, 2015

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Judul: Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri
Penulis: Muhsin Kalida & Moh. Mursyid
Penerbit: Aswaja Presindo- Cakruk Publisher
Cetakan: I/2014

Buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri merupakan salah satu buku sakti bagi pengelola Perpustakaan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan pegiat literasi lainnya.

Berikut ini Kata Pengantar dalam Buku Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri:

“Berhenti sekolah adalah sebuah kepastian, namun
berhenti belajar adalah sebuah pilihan”. Ungkapan tersebut
adalah gambaran bahwa kegiatan belajar tidak ada batas
jenjang dan waktunya sebagaimana pendidikan formal. Hal
ini senada dengan pesan dalam sebuah hadits yang
menyebutkan bahwa menuntut ilmu (baca: belajar) adalah
sebuah kewajian bagi seorang muslim laki-laki dan
perempuan mulai dari buaian smpai ke dalam liang lahat
(meninggal dunia). Dari sini pula kemudian dikenal istilah
pendidikan sepanjang hayat (long-life education).

Proses pendidikan sepanjang hayat ini dapat dilakukan
di Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang
merupakan sarana sekaligus pusat informasi bagi masyarakat
atas perkembangan ilmu pengetahuan, baik dalam wadah
buku mauun bahan bacaan lainnya. Proses pembelajaran
sepanjang hayat ini dapat berjalan jika setiap orang
mempunyai budaya baca dan budaya menulis atau yang akrab
dikenal sebagai literasi.

Budaya membaca dan menulis di sini tidak terbatas pada
pemahaman kegiatan membaca dan menulis secara teknis,
tetapi pada kegiatan fungsional dimana melalui dua kegiatan
tersebut setiap orang dapat meningkatkan kapasitas dan taraf
hidupnya.

Potret budaya membaca dan menulis di Indonesia bisa
dikatakan belum menggemberikan. Pasalnya, budaya
membaca dan menulis di Indonesia masih kalah dibandingkan
dengan Negara tetangga lainnya. Baik karena faktor kesadaran
masyarakat maupun minimnya akses ke pusat-pusat infomasi.
Selain itu, minimnya inovasi dari para pengelola, menjadikan
keberadaan perpustakaan dan TBM hingga kini belum secara
maksimal dirasakan kebermanfaatannya oleh masyarakat.
Buku Gerakan Literasi; Mencerdaskan Negeriyang ada di
tangan pembaca ini merupakan salah satu wujud dokumentasi
atas “pengembaraan literasi” baik secara spiritual maupun
fisik dalam upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat
melalui pintu utama perpustakaan dan Taman Bacaan
Masyarakat (TBM).

Dalam buku ini, pembaca akan banyak menemui ide dan
gagasan terkait buku, ragam opini perpustakaan dan
optimalisasinya, TBM sebagai alternatif, budaya baca, budaya
tulis, dan gerakan literasi. Buku ini tidak hanya berbicara
dalam tataran konseptual tetapi juga praksis yang menjadi
hasil “pengembaraan literasi” penulis.
Melalui buku ini pula penulis ingin menebar benih-benih
literasi yang ada di Nusantara. Yaitu benih yang siap disemai
dan nantinya tumbuh menjadi sebuah pohon, dari pohon
tersebut akan muncul buah yang dapat dinikmati oleh siapa
saja yang ingin menikmatinya.

Akhirnya, penulis berharap buku ini mampu menjadi
motivator bagi para pegiat literasi di Indonesia untuk terus
berkreasi dan berinovasi dalam rangka mencerdaskan negeri.
Semoga!.[]

-----------------------------



Sekolah yang Menyenangkan

Sekolah yang Menyenangkan (By: Moh. Mursyid) Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Harian Suara Karya Edisi Selasa, 17 November 2015

Pendidikan yang menyenangkan adalah salah satu syarat untuk melahirkan manusia-manusia unggul dan pembelajar. Dengan pendidikan yang menyenangkan, seorang siswa akan semakin ketagihan dan merasa nyaman untuk belajar di sekolah. Ironisya, hingga kini masih banyak sekolah yang belum mampu menciptakan suasana pendidikan yang menyenangkan dan ramah bagi anak (siswa).

Setiap mendengar kata ‘pendidikan’, pikiran kita masih tertuju pada gedung sekolah, proses belajar-mengajar di kelas, dan beragam tugas sekolah yang harus diselesaikan setiap harinya. Jika demikian yang terjadi, maka yang muncul bukanlah kesan menyenangkan, melainkan ketegangan yang dapat menyedot seluruh energi dan pikiran. Proses pembelajaran berjalan stagnan dan tidak mendukung anak untuk mengembangkan bakat dan kreativitas dengan sepenuhnya.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, telah mengingatkan kepada seluruh elemen pendidikan di Indonesia agar menjadikan sekolah sebagai tempat belajar yang ramah anak serta menjadikan dunia pendidikan sebagai dunia yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia.

Berbicara tentang pendidikan yang menyenangkan dan ramah anak, hal ini erat kaitannya dengan pembentukan suasana belajar di sekolah yang notabene sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Di Indonesia, konsep pendidikan yang menyenangkan telah dicontohkan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara melalui model pendidikan Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.

Dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, Ki Hajar Dewantara menggunakan istilah ‘taman’ untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman di sini dapat diartikan sebagai tempat bermain atau tempat belajar yang menyenangkan.

Dalam istilah ‘taman’ ini pula tidak terbatas pada jenis pendidikan formal saja, tetapi juga nonformal. Secara sederhana, pendidikan adalah sepenuhnya untuk rakyat tanpa adanya sekat pembatas antara miskin dan kaya, bodoh dan pintar. Semuanya berada dalam satu wadah, yaitu taman belajar yang menyenangkan.

Peran Guru

Pada dasarnya, untuk menciptakan sekolah yang ramah anak maka harus dibangun adanya proses revolusi hati, pikiran dan tindakan dari seluruh elemen pendidikan, terutama para guru. Guru adalah garda depan dalam mewujudkan suasana belajar yang menyenangkan di sekolah. Menarik dan tidaknya sebuah proses pembelajaran tidak semata bertumpu pada lembaran buku teks pelajaran, melainkan pada sosok guru yang mampu menyampaikan dengan menarik dan kreatif pesan pembelajaran tersebut sehingga anak-anak menjadi lebih semangat belajar.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah masih terkesan satu arah dan menempatkan sosok guru sebagai sosok utama dan paling berkuasa dalam pembelajaran. Kondisi demikianlah yang akhirnya menjadikan siswa tidak berkembang dan minim kreativitas karena tidak ada hubungan timbal balik (feedback). Untuk itulah dibutuhkan adanya revolusi hati, pikiran dan tindakan untuk mewujudkan sosok guru yang tangguh, inspiratif dan kreatif.

Toto Rahardjo (2014: 25) menjelaskan bahwa suatu penyelenggaraan belajar-mengajar merupakan proses pendidikan yang harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran pelaku (objek) dari proses tersebut. Selanjutnya, proses pendidikan dan belajar seharusnya tidak bercorak menggurui karena dalam proses belajar-mengajar tidak ada ‘guru’ dan tidak ada ‘murid yang digurui’. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah ‘guru sekaligus murid’ pada saat bersamaan.

Dari sini dapat dilihat bahwa salah satu inti dari proses belajar-mengajar sebenarnya adalah proses komunikasi yang harmonis antara semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut. Proses komunikasi ini dapat diterapkan ke berbagai bentuk kegiatan yang dapat memungkinkan terjadinya ruang dialog antara guru dan siswa, misalnya diskusi kelompok dan belajar bersama di perpustakaan.

Proses komunikasi yang harmonis antara siswa dan guru ini sudah harus dibangun sejak tingkat sekolah dasar (SD). Pasalnya, di tingkat dasar inilah seorang siswa akan mendapatkan kesan awal dari proses pendidikan menarik atau tidak. Selain itu, di tingkat dasar ini pula menjadi fondasi awal peletakan dasar-dasar berpikir dan bersikap bagi para siswa.

Jika kesan menyenangkan ini tidak dibangun dengan baik sejak awal, maka yang muncul adalah kesan negatif bahwa sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk belajar. Bisa dibayangkan jika sedari tingkat dasar, seorang siswa sudah beranggapan bahwa sekolah adalah tempat yang tidak menarik untuk belajar? Maka, bukan tidak mungkin selama 12 (dua belas) tahun anak-anak hanya akan merasa berada di dalam penjara besar yang bernama ‘sekolah’[]

Monday, November 16, 2015

PUSTAKAWAN DAN PELAKU USAHA

Senin 16/11/2015 berkesempatan berbagi hal terkait kepenulisan kepada pelaku usaha di Yogyakarta. Kegiatan ini diadakan oleh Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) KUMKM DIY dan diikuti sekitar 40 peserta dari beberapa wilayah di Yogyakarta
Seorang pelaku usaha haruslah menulis. Karena seiring dengan perkembangan teknologi, hampir sebagian besar interaksi bisnis terjadi dalam bentuk teks. Misalnya: Bisnis online di FB, Twitter, Blog, Instagram, Line, dan lainnya.
 Dalam bisnis terdapat istilah Copywriting yang merupakan salah satu teknik dalam menjual produk. Hal ini tentu mewajibkan seorang pelaku usaha untuk bisa menulis. Dengan menulis, minimal ada dua hal yang bisa dieksplore, yaitu Coorporate Value dan Product Value.
Output dari kegiatan ini akan dipilih 5 artikel atau tulisan terbaik terkait Company Profil dan Review Produk terbaik dan kemudian dibukukan oleh PLUT KUMKM.
Belajar menulis ya memang haruslah menulis. Stop Bicara, Mulailah Menulis Sekarang.. :-)