Di tengah kondisi
budaya baca yang masih lemah, ketidakberpihakan oknum pemerintah terhadap gerakan
membaca justru ditunjukkan di beberapa daerah. Belum lama ini misalnya, Lapak
Baca Asmanadia digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat
menjajakan buku di alun-alun Kabupaten Cianjur. Kejadian serupa juga pernah dialami
oleh Komunitas Perpustakaan Jalanan Kota Bandung yang dibubarkan oleh TNI
beberapa waktu lalu. Ironis.
Sejalan dengan kejadian tersebut, dalam
Undang- Undang Dasar (UUD) Pasal 28F disebutkan, “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Jika merujuk pada UUD Pasal 28F,
maka apa yang dilakukan oleh oknum pemerintah tersebut patut disayangkan.
Pasalnya, pemerintah yang seharusnya melindungi keberadaan mereka, justru
membubarkannya. Dalam hal ini, perpustakaan maupun lapak baca menjadi saluran
bagi masyarakat dalam menyebarkan informasi dan pengetahuan melalui kegiatan
membaca.
Harus
disadari bersama bahwa mengenalkan budaya baca di masyarakat merupakan salah
satu cara solutif untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang berkemajuan. Membaca
menjadi bagian penting dari serangkaian proses pendidikan yang menjadi hak
setiap warga negara.
Minim Perpustakaan
Hasil
survei dari UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001
persen. Artinya, hanya ada satu orang dari seribu masyarakat yang memiliki
budaya baca. Hasil ini juga didukung dari berbagai hasil survei yang
menempatkan Indonesia pada posisi terendah dalam minat baca.
Disadari
atau tidak, rendahnya budaya baca di negeri ini merupakan salah satu cerminan
lemahnya pemerintah dalam mengimplementasikan amanat UU Nomor 43 Tahun 2007
tentang perpustakaan. Dalam Pasal 50 misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah dan
pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong pembudayaan kegemaran membaca
dengan menyediakan bahan bacaan bermutu, murah, dan terjangkau serta
menyediakan sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses.
Namun
fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Harga buku saat ini semakin melambung
naik sehingga tidak semua kalangan dapat menjangkaunya. Tidak aneh jika
kemudian muncul anggapan lebih baik membeli beras ketimbang harus membeli buku.
Dari sini nampak jelas betapa buku belum menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Sementara
itu, data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah
perpustakaan umum hanya ada 24.504 unit. Jumlah tersebut nyatanya belum mampu
menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, terutama di wilayah pedalaman. Buku
dan perpustakaan menjadi sesuatu yang sangat istimewa yang tidak setiap saat
bisa didapatkan.
Peran Masyarakat
Dalam kondisi seperti inilah peran serta masyarakat
dalam upaya menumbuhkan budaya baca patut diapresiasi. Lapak Baca Asmanadia dan
Perpustakaan Jalanan Kota Bandung adalah sekian
dari ratusan lebih gerakan yang bersifat buttom up dalam menumbuhkan
budaya baca di tengah masyarakat.
Di
negeri yang berpenduduk lebih dari 255 juta jiwa, kesadaran dalam membentuk
budaya baca masih tergolong rendah. Kepedulian membangun budaya ini justru
muncul bukan dari kalangan orang kaya, melainkan mereka dari kalangan orang
biasa. Mulai dari penjual jamu, Ibu rumah tangga, karyawan toko, guru,
mahasiswa, dan lainnya yang memiliki kesadaran akan pentingnya membaca.
Berawal
dari kepedulian masyarakat inilah yang kemudian muncul beragam fasilitas baca di
berbagai tempat, mulai dari stasiun, terminal, masjid, alun-alun kota, pasar, mall,
dan fasilitas umum lainnya. Tempat-tempat tersebut menjadi lokasi yang
strategis karena sering dijadikan tempat berkumpulnya masyarakat.
Kiranya
keberadaan mereka ini bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk terus berbenah
memperbaiki kondisi budaya baca bangsa. Bukan sebaliknya, mencegah bahkan sampai
dengan membubarkannya. Hal ini sebagaimana dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 Pasal
49 bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendorong tumbuhnya
taman bacaan dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca.
Dari
sini dapat dipahami bahwa budaya baca tidak bisa dibangun dari satu arah. Semua
harus saling bersinergi antar lapisan masyarakat dan pemerintah. Pemerintah
sebagai pemangku kebijakan hendaknya memberikan dukungan penuh yang pro rakyat,
salah satunya memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan gerakan baca di berbagai fasilitas umum yang rawan dari aksi
kekerasan.
Peran
serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Gerakan membaca di ruang publik harus
terus didukung keberadaannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling
mudah dilakukan adalah dengan mendonasikan buku-buku bacaan berkualitas ke
perpustakaan maupun taman bacaan di ruang publik sebagai wujud kepedulian
terhadap budaya baca. Buku-buku tersebut nantinya akan dimanfaatkan
kembali untuk masyarakat.
Akhirnya,
melalui gerakan membaca di ruang publik ini diharapkan mampu menumbuhkan
masyarakat yang berpengetahuan, serta mempunyai kepedulian sosial tinggi terhadap
kemajuan bangsa. Semoga!.[]