Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Wednesday, November 9, 2016

Ketemu Kepala Perpustakaan Nasional

13 Oktober 2016. Sebuah rejeki yang tak dinyana-nyana. Rejeki bukan berupa materi, tapi relasi dan silaturahmi.

Ya, tepat sehari setelah saya berulang tahun, yaitu pada 12 Oktober 2016, saya berkesempatan bertemu dengan beberapa tokoh kepustakawanan di Indonesia dalam acara Semiloka Kepustakawanan Indonesia 2016 yang diadakan oleh Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI).

Acara yang berlokasi di Perpustakaan UGM Yogyakarta itu dihadiri oleh banyak pihak, salah satunya adalah Kepala Perpustakaan Nasional, Bapak Muh Syarif Bando yang turut menyampaikan materi dalam acara tersebut.

Ada banyak sekali materi yang disampaikan, mulai dari communication skill, writing skill, information literacy, dan lainnya yang terkait isu kepustakawanan terkini.

Usai menyampaikan materi, saya menyempatkan ketemu dengan Kepala Perpustakaan Nasional dan berniat memberikan buah karya sederhana saya yang berjudul "Pustakawan dan Media Massa: Dari Interaksi ke Dokumentasi" dan juga tulisan saya yang dimuat di surat kabar Harian Bernas berjudul "Tantangan Gerakan Membaca" (13/10/2016).

Sepucuk harapan, semoga ide dan gagasan dalam buku & surat kabar tersebut dapat diterima dan membawa manfaat. Semoga.


Tantangan Gerakan Membaca

Di tengah kondisi budaya baca yang masih lemah, ketidakberpihakan oknum pemerintah terhadap gerakan membaca justru ditunjukkan di beberapa daerah. Belum lama ini misalnya, Lapak Baca Asmanadia digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat menjajakan buku di alun-alun Kabupaten Cianjur. Kejadian serupa juga pernah dialami oleh Komunitas Perpustakaan Jalanan Kota Bandung yang dibubarkan oleh TNI beberapa waktu lalu. Ironis.
            Sejalan dengan kejadian tersebut, dalam Undang- Undang Dasar (UUD) Pasal 28F disebutkan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
            Jika merujuk pada UUD Pasal 28F, maka apa yang dilakukan oleh oknum pemerintah tersebut patut disayangkan. Pasalnya, pemerintah yang seharusnya melindungi keberadaan mereka, justru membubarkannya. Dalam hal ini, perpustakaan maupun lapak baca menjadi saluran bagi masyarakat dalam menyebarkan informasi dan pengetahuan melalui kegiatan membaca.
Harus disadari bersama bahwa mengenalkan budaya baca di masyarakat merupakan salah satu cara solutif untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang berkemajuan. Membaca menjadi bagian penting dari serangkaian proses pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara.
Minim Perpustakaan
Hasil survei dari UNESCO menunjukkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari seribu masyarakat yang memiliki budaya baca. Hasil ini juga didukung dari berbagai hasil survei yang menempatkan Indonesia pada posisi terendah dalam minat baca.
Disadari atau tidak, rendahnya budaya baca di negeri ini merupakan salah satu cerminan lemahnya pemerintah dalam mengimplementasikan amanat UU Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Dalam Pasal 50 misalnya, menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong pembudayaan kegemaran membaca dengan menyediakan bahan bacaan bermutu, murah, dan terjangkau serta menyediakan sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses.
Namun fakta di lapangan berbicara sebaliknya. Harga buku saat ini semakin melambung naik sehingga tidak semua kalangan dapat menjangkaunya. Tidak aneh jika kemudian muncul anggapan lebih baik membeli beras ketimbang harus membeli buku. Dari sini nampak jelas betapa buku belum menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Sementara itu, data dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah perpustakaan umum hanya ada 24.504 unit. Jumlah tersebut nyatanya belum mampu menjangkau seluruh wilayah di Indonesia, terutama di wilayah pedalaman. Buku dan perpustakaan menjadi sesuatu yang sangat istimewa yang tidak setiap saat bisa didapatkan.
Peran Masyarakat
Dalam kondisi seperti inilah peran serta masyarakat dalam upaya menumbuhkan budaya baca patut diapresiasi. Lapak Baca Asmanadia dan Perpustakaan Jalanan Kota Bandung adalah sekian dari ratusan lebih gerakan yang bersifat buttom up dalam menumbuhkan budaya baca di tengah masyarakat.
Di negeri yang berpenduduk lebih dari 255 juta jiwa, kesadaran dalam membentuk budaya baca masih tergolong rendah. Kepedulian membangun budaya ini justru muncul bukan dari kalangan orang kaya, melainkan mereka dari kalangan orang biasa. Mulai dari penjual jamu, Ibu rumah tangga, karyawan toko, guru, mahasiswa, dan lainnya yang memiliki kesadaran akan pentingnya membaca.
Berawal dari kepedulian masyarakat inilah yang kemudian muncul beragam fasilitas baca di berbagai tempat, mulai dari stasiun, terminal, masjid, alun-alun kota, pasar, mall, dan fasilitas umum lainnya. Tempat-tempat tersebut menjadi lokasi yang strategis karena sering dijadikan tempat berkumpulnya masyarakat.
Kiranya keberadaan mereka ini bisa menjadi cermin bagi pemerintah untuk terus berbenah memperbaiki kondisi budaya baca bangsa. Bukan sebaliknya, mencegah bahkan sampai dengan membubarkannya. Hal ini sebagaimana dalam UU Nomor 43 Tahun 2007 Pasal 49 bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendorong tumbuhnya taman bacaan dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca.
Dari sini dapat dipahami bahwa budaya baca tidak bisa dibangun dari satu arah. Semua harus saling bersinergi antar lapisan masyarakat dan pemerintah. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan hendaknya memberikan dukungan penuh yang pro rakyat, salah satunya memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan gerakan baca di berbagai fasilitas umum yang rawan dari aksi kekerasan.
Peran serta masyarakat juga sangat dibutuhkan. Gerakan membaca di ruang publik harus terus didukung keberadaannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan mendonasikan buku-buku bacaan berkualitas ke perpustakaan maupun taman bacaan di ruang publik sebagai wujud kepedulian terhadap budaya baca. Buku-buku tersebut nantinya akan dimanfaatkan kembali  untuk masyarakat.
Akhirnya, melalui gerakan membaca di ruang publik ini diharapkan mampu menumbuhkan masyarakat yang berpengetahuan, serta mempunyai kepedulian sosial tinggi terhadap kemajuan bangsa. Semoga!.[]

Tuesday, April 19, 2016

Perpustakaan untuk (Wakil) Rakyat

Oleh: Moh. Mursyid
Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 18/04/2016
Rencana pembangunan perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengundang perhatian publik. Bukan saja karena biayanya yang superfantastis, yaitu 570 miliar rupiah, tetapi juga relevansinya terhadap kinerja para wakil rakyat itu sendiri. Antara kebutuhan dan pemborosan, antara maslahat dan muslihat.
Rencana pembangunan gedung ini bukanlah untuk yang pertama kalinya. Sebelumnya, pada tahun 2010 DPR telah mengajukan pembangunan gedung baru dengan nilai lebih dari satu triliun rupiah. Namun hal tersebut mendapat penolakan secara masif. Seakan tidak patah arang, DPR pun kembali menggulirkan rencana pembangunan gedung baru berkedok intelektual dengan membangun perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara yang sekaligus menjadi ruang kerja bagi anggota DPR dan para tenaga ahli.
Tidak dapat dimungkiri bahwa keberadaan perpustakaan memang sangat penting, terlebih untuk para anggota DPR. Perpustakaan sebagai sumber informasi dan pengetahuan dapat memberikan dampak positif bagi kinerja anggota dewan. Dengan perpustakaan, anggota dewan dapat meningkatkan kualitas dirinya. Sebagai amsal, anggota dewan dapat menggunakan data dan informasi yang ada di perpustakaan sebagai sumber sekaligus dasar dalam pengambilan keputusan agar lebih tepat, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Meski demikian, rencana pembangunan gedung perpustakaan harus dikaji ulang. Rencana pembangunan perpustakaan merupakan ide yang sangat mulia. Namun, dengan dana sebesar itu kiranya akan lebih baik jika dialokasikan untuk program yang prorakyat, misalnya pengentasan kemiskinan. Mengingat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2015 jumlah penduduk miskin di Indonesia naik mencapai angka 28,59 juta orang (11,22 persen) dari sebelumnya 27,73 juta orang (10,96 persen). Ironis.
Optimalisasi Perpustakaan Jika melihat kondisi saat ini, DPR sudah memiliki gedung perpustakaan yang dibangun di Gedung Nusantara II. Perpustakaan tersebut memiliki koleksi sekitar 105.381 eksemplar. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa perpustakaan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Kunjungan dari anggota dewan setiap harinya pun minim.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan bahwa perpustakaan yang dimiliki DPR saat ini masih kelas Rukun Tetangga (RT). Tidak hanya itu, Fahri Hamzah juga mengingatkan bahwa pembangunan perpustakaan tersebut termasuk dalam tujuh proyek pembangunan yang diwacanakan DPR. Apa yang dikatakan Wakil Ketua DPR patut disayangkan.
Perlu disadari bahwa perpustakaan era sekarang ini bukan sekadar bangunan statis belaka. Seorang pakar dan tokoh perpustakaan kelahiran India, S.R Ranganathan (1892-1972) mengatakan, “Library is a growing organism”. Perpustakaan adalah sebuah organisme (benda hidup) yang terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan manusia.
Selain itu, pembangunan gedung baru perpustakaan DPR idealnya dibarengi dengan peningkatan budaya baca di kalangan DPR itu sendiri. Jika perpustakaan yang sudah ada saja tidak dimanfaatkan dengan maksimal, maka gedung baru perpustakaan termegah se-Asia Tenggara tersebut hanya akan menjadi gedung mati tanpa manfaat. Kemegahan tanpa kebermanfaat adalah kesia-sian belaka.
Di era informasi digital seperti sekarang ini, data dan informasi sudah tidak hanya bisa didapatkan secara fisik (tercetak) tetapi juga dalam bentuk elektronik. Pemanfaatan gadget sudah sangat mendukung seseorang untuk mendapatkan informasi dalam jangka waktu yang cepat. Perkembangan teknologi memungkinkan seseorang membaca buku melalui versi elektronik (e-book).
Pendit (2016) mengatakan bahwa setelah informasi dapat dikemas lebih ringkas melalui teknologi digital, dan layanan perpustakaan dapat diperluas via Internet, ukuran fisik dan kemegahan bangunan fisik ini tinggallah menjadi aspek simbolik dari perpustakaan. Kuantitas dan kualitas layanan informasi perpustakaan di zaman kini tak lagi langsung dikaitkan dengan besar-kecilnya gedung, melainkan dengan ekstensif-tidaknya layanan informasi lewat Internet.
Dalam kondisi ini, rencana pembangunan gedung baru perpustakaan DPR agaknya lebih tepat jika dialihkan untuk optimalisasi perpustakaan DPR yang sudah ada sebelumnya. Tidak perlu membangun gedung baru, melainkan cukup memaksimalkan apa yang sudah ada. Konsep perpustakaan digital(digital library) maupun perpustakaan mobile (M-Library) bisa menjadi salah satu alternatif pengembangan perpustakaan DPR. Dengan adanya perpustakaan digital, anggota dewan dapat mengakses segala informasi yang ada di perpustakaan dengan bantuan teknologi tanpa harus datang langsung. Tidak hanya anggota dewan yang bisa mengakses perpustakaan digital tersebut, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia di manapun dan kapanpun.
Akhirnya, masyarakat Indonesia semua percaya bahwa orang-orang yang menduduki posisi sebagai anggota dewan bukanlah orang bodoh. Mereka adalah orang pilihan yang mumpuni dan berpendidikan tinggi yang sadar bahwa intelektual bangsa tidak bisa dibangun hanya dengan dana, melainkan dengan karya. [*]

Monday, April 18, 2016

Resensi Buku Writer Librarian

-Writer Librarian-
Salah satu cara untuk menjadi visible librarian adalah dengan menulis. Pustakawan tanpa menulis itu ibarat lilin. Orang akan mendapatkan manfaatnya ketika dirinya ada dan masih hidup. Tapi kalau sudah mati, keberadaanya tak lagi berguna. Tak ada pemikiran yang ditinggalkan. Itu artinya, tidak ada yang diwariskan.
Pada akhirnya, siapa lagi yang akan menyuarakan berbagai hal kemajuan di dalam ilmu perpustakaan kalau bukan pustakawan itu sendiri??.
Salam L (Literasi)

Monday, January 11, 2016

PUSTAKAWAN BLOGGER

Bagi sebagian orang menulis merupakan sebuah kegiatan yang teramat susah, menguras pikiran dan juga waktu. Namun, bagi sebagian orang yang sudah terbiasa menulis, kegiatan menulis teramatlah sangat mudah. Ungkapan Jawa mengatakan, biso jalaran soko kulino. Ya, itulah kiranya kalimat yang pas untuk menggambarkan kegiatan menulis. Semakin sering dilakukan, maka tidak ada kata ‘sulit’ dalam menulis.

Dalam menulis, ada banyak sekali media yang bisa digunakan sebagai wadah menulis. Mulai dari yang konvensional seperti buku dan media massa, sampai dengan media digital (online) seperti blog, website, dan sebagainya.

Salah satu media penulisan yang menarik untuk disimak adalah blog. Blog merupakan salah satu media penulisan online yang bersifat gratis. Artinya, setiap orang di sini bisa memiliki blognya masing-masing. Jika analogikakan, blog ini semacam buku catatan pribadi kita. Penggunanya pun sangat beragam, mulai dari remaja hingga orang dewasa.

Melalui blog, seseorang bisa menyalurkan ide menulisnya dengan lebih mudah. Setiap tulisan yang ada di blog bebas terbit tanpa ada proses seleksi panjang seperti halnya dalam media masa (surat kabar). Untuk itu, isi/ kontent yang ada blog 100% menjadi tanggung jawab si penulisnya. Ada juga yang mengatakan bahwa blog ini bisa difungsikan sebagai media jurnalisme warga (citizen journalism) di mana setiap orang atau lapisan masyarakat dapat menginfokan segala sesuatu dengan mudah.

Meski demikian, blog ini memiliki dua mata sisi uang. Blog bisa jadi positif jika digunakan secara arif dan bijak oleh penggunanya. Namun, blog juga bisa bernilai negatif jika disalahgunakan oleh penggunanya, misalnya untuk penyebaran pornografi, penipuan, dan sebagainya.
***

Kali ini, saya berkesempatan menimba ilmu dan juga pengalaman dari seorang pustakawan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia blog. Dia adalah Mas Murad Maulana, seorang pustakawan blogger yang bekerja di salah satu instansi pemerintah dan kini sedang meyelesaikan studinya di Program Magister Ilmu Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Saya pertama kali kenal dengan Mas Murad (demikian saya memanggilnya) melalui media sosial facebook. Dan akhirnya, tanpa sengaja kita dipertemukan di Rumah Maiyah di Jl. Wates Km. 2,5 sewaktu ada acara temu kangen MIP UGM Yogyakarta. Waktu itu, saya bekerja di Rumah Maiyah sehingga saya bisa turut hadir dalam acara temu kangen keluarga besar MIP UGM Yogyakarta tersebut. Setelah acara tersebut, kami sering ngobrol lewat facebook sehingga pada suatu ketika, kami memutuskan untuk saling bertukar karya.

Ada salah satu karya menarik Mas Murad, yaitu buku berjudul Motivasi Go Blog: Semangat Menulis Blogger Pemburu Dolar. Karya tersebut merupakan karya ketiga dari semua buku yang ditulis oleh Mas Murad. Dari judul bukunya, tentu kita sudah bisa menebak apa isi dari buku tersebut. Ya..., ini bukan buku kepustakawanan, melainkan buku yang banyak bicara bagaimana seseorang menulis di blog. Tidak hanya sekadar menulis, tetapi juga bisa menghasilkan penghasilan (dolar).

Ketika kami ngobrol, Mas Murad sempat cerita bahwa ia sudah nge-blog selama kurang lebih 7 tahunan. Selama itu, ia mengalami proses jatuh bangun dan pernah juga selama 3 tahun tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan ngeblog. Proses yang luar biasa (dalam batin saya). Namun, jerih payah Mas Murad pun berbuah manis. Dari kegiatan ngeblog, ia bisa membiayai Ibunya pergi menunaikan haji (jangan dibayangkan berapa besar pendapatan dari ngeblognya ya..., sudah tentu jumlahnya tidak sedikit.., hehehe).

Ia pun berpendapat bahwa, seharusnya, blog ini bisa menjadi penghasilan tambahan bagi para pustakawan di Indonesia. Bahan bacaan yang ada di perpustakaan menjadi aset penting untuk dijadikan tulisan di dalam blog. Sayangnya, hingga kini belum banyak pustakawan yang tahu dan mau untuk menulis di blog. “Ketimbang pada ngeluh masalah gaji, mending nulis saja di blog..hehehe” demikian ujarnya.

Terlepas dari materi yang didapatkan dari kegiatan nge-blog, Mas Murad merupakan salah satu dari sekian banyak pustakawan yang mau menulis. Ada banyak tips yang diberikan oleh Mas Murad dalam bukunya tersebut. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Mas Murad adalah, menulis itu investasi. Jadi, gunakanlah blog itu sebaik mungkin untuk kebaikan orang banyak.


Demikian cuplikan obrolan saya dengan Mas Murad. Tak lupa, dia akhir obrolan, kami menyempatkan berfoto bareng sekaligus saling bertukar karya.. J ^_^

Friday, January 8, 2016

Sepucuk Surat dari Universitas Malaya


Sore hari, tepatnya tanggal 7 Desember 2015, saya iseng maen  ke Penerbit Ladang Kata di daerah Basen Kotagede. Aslinya sih ndak hanya sekadar maen saja, tetapi mau mengurus penerbitan naskah yang harus terbit bulan Desember 2015.hehe..., Bulan Desember kemarin merupakan bulan kejar tayang. Bagaimana tidak, dalam satu bulan ada lima naskah yang harus terbit. Mulai dari naskah saya pribadi yang berjudul Be a Writer Librarian: Strategi Jitu Menjadi Penulis Kreatif bagi Pustakawan, sampai dengan naskah kompilasi antara saya dengan teman-teman pustakawan lain yang berjudul Budaya Baca di Era Digital dan Bangga Menjadi Pustakawan. Dua naskah lainnya adalah milik rekan kami yang berjudul Pustakawan dan Angka Kredit: Bekal Sukses Profesi Pustakawan karya Bu Tri Hardiningtyas (Pustakawan UNS) dan Melayani Suami Sampai Surga: 10 Ikhtiar Seorang Istri karya Bu Heni Murawi (Gubernur TBM Prov. Jawa Barat). Meski demikian, tetapi disyukuri. Senang rasanya bisa membantu terbitnya karya-karya luar biasa dari orang luar biasa pula.

Balik lagi ke masalah surat. Ketika datang di Ladang Kata, seorang teman yang bekerja di Ladang Kata menceritakan bahwa ada kiriman surat dari Malaysia. Sayapun kaget campur senang. Dalam benak saya, surat apa gerangan? Kok jauh-jauh dari Malaysia. Semoga surat yang membawa kabar bahagia (batinku berkata).
Setelah surat tersebut saya terima, saya melihat surat tersebut terdapat KOP Universitas Malaya. Kembali saya meneliti.., apakah benar surat itu untuk saya?.
Akhirnya, saya pun membuka surat tersebut. dan ternyata.............

Hehe, surat tersebut memang benar untuk diri saya. Isi dari surat tersebut adalah ucapat terimakasih atas kiriman buku yang saya yang berjudul Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi (2015). Buku tersebut saya kirim lewat seorang teman dari Jogja yang kebetulan sedang magang di Universitas Malaysia, Malaysia. Bulan Oktober lalu. saya sedang ada kunjungan ke Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) untuk mengikuti training sekaligus melakukan miniriset di Perpustakaan Komuniti.
Sebelum berangkat ke Malaysia, saya sempat berkomunikasi dengan Kepala Perpustakaan dari Univeritas Malaya, Dr. Edzan Natsir, agar bisa bertemu di PNM. Sebelum berangkat, saya memang sudah menyiapkan buku karya saya untuk saya hadiahkan pada saat di Malaysia. Namun, ternyata Dr. Edzan pada hari itu ada keperluan lain sehingga belum berkesempatan bertemu. Walhasil, saya menitipkan buku tersebut lewat teman saya yang sedang magang di Perpustakaan Universitas Malaysia.
Bulan Oktober pun berlalu, dan sampailah pada tanggal 7 Desember 2015. Sepucuk surat saya terima dari Universitas Malaya berbubuhkan tanda tangan dari Dr. Edzan. Saya pun berucap syukur, buku kiriman saya sudah diterima oleh Dr. Edzan. Dan ternyata, buku tersebut menjadi salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Malaya.
Saat menerima surat tersebut, terbesit doa dalam hati saya. Semoga suatu saat nanti, saya bisa datang ke sana kembali dan dengan melanjutkan studi saya. Ada dua sosok hebat yang saya kenal di Universitas Malaya, yaitu Dr. Edzan Natsir dan Prof. Lim Peng Han. Keduanya saya jumpai pada waktu di event perpustakaan tingkat ASEAN, CONSAL XVI di Bangkok, Thailand pada bulan Juni 2015 yang lalu.

Sepucuk surat yang membawa semangat...

Sepucuk surat yang menjadi motivasi untuk terus berkarya dan berbagi....


Berbagi karya, berbagi ilmu, dan berbagi pengetahuan...

Thursday, January 7, 2016

Jangan Biarkan Perpustakaan Mati


Senang sekali rasanya pada hari Rabu 16 Desember 2015 pukul 09.00-12.00 WIB, saya berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam acara bedah buku Capacity Building Perpustakaan buah karya Pak Muhsin Kalida, dosen UIN Sunan Kalijaga sekaligus gubernur Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Prov. D.I. Yogyakarta.

Rasa senang tersebut kiranya bukan sekadar karena saya dipercaya sebagai pembedah buku tersebut, tetapi juga karena kesempatan berbagi dan bersilaturhim kepada para pengelola perpustakaan dan TBM serta pegiat budaya baca yang ada di Jogja dan wilayah sekitarnya. Ya, tidak kurang dari 70 peserta yang hadir dalam acara tersebut. Mulai dari mahasiswa, pengelola perpustakaan, pengelola TBM dan juga para pegiat budaya baca. Ini lah kesempatan yang saya maksudkan. Kesempatan untuk berkenalan dengan lebih banyak orang yang mempunyai misi yang sama.

Dalam kesempatan ini pula, saya bertemu dengan para senior saya, yaitu Mas Arsidi dan juga Mas Purwoko. Keduanya adalah senior saya yang kiranya tidak diragukan lagi pengalaman dan kiprahnya. Tak lupa, saya pun menyempatkan berfoto dengan keduanya..., he he he (kesempatan langka bisa berfoto dengan keduanya secara bersamaan)




 ***
Masuk pada inti acara, Bapak Said Hasan Basri selaku Ketua Jurusan Bimbingan Konseling Islam memberikan sambutan sekaligus membuka acara bedah buku pada pagi hari itu. Dalam sambutannya, Pak Said mengemukakan bahwa budaya baca di Indonesia masih perlu digiatkan kembali. Berkaca pada negara-negara maju, kondisi budaya baca masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan sebuah bangsa. Untuk itu, hadirnya buku Capacity Building Perpustakaan ini diharapkan mampu memberikan solusi bagaimana mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh perpustakaan yang notabene sebagai sumber dan sarana informasi pengetahuan bagi masyarakat.

Selanjutnya, dalam sesi bedah buku, Pak Muhsin mengutarakan kegelisahannya terkait budaya baca di Indonesia yang tertinggal jauh dengan negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Nepal. Di lain sisi, banyak perpustakaan, terutama perpustakaan desa di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan klasik, mulai dari pendanaan (fundrising), kemitraan (networking), dan juga publikasi (publishing). Melihat beragam permasalahan itu lah kemudian Pak Muhsin tergerak untuk menulis buku Capacity Builidng Perpustakaan tersebut.

            Dalam pemaparannya, Pak Muhsin juga berpendapat bahwa, seharusnya semua pengelola perpustakaan dan TBM harus mengedepankan kreatifitas untuk memajukan lembaganya. Pasalnya, fenomena di lapangan masing menunjukkan banyaknya pengelola perpustakaan yang bergantung pada bantuan pemerintah. Akhirnya, perpustakaan akan hidup dan terdapat kegiatan hanya pada saat ada dana. Namun di saat tiada dana, maka perpustakaan tersebut stagnan dan mati. Jika yang terjadi demikian, rasanya sangat sulit menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat bawah.

            Melalui buku ini, Pak Muhsin Kalida mengajak kita semua untuk mengubah mindset “mengemis” menjadi “mengemas”. Ada banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan di perpustakaan yang bisa dikemas secara menarik. Jika kemasannya sudah menarik, maka orang-orang pasti akan tertarik dengan perpustakaan yang kita kelola.

            Menanggapi hal ini, saya berpendapat bahwa buku Capacity Building Perpustakaan ini bisa menjadi pijakan bagi pengelola perpustakaan, terutama perpustakaan desa maupun komunitas di mana dikelola secara swadaya oleh masyarakat, untuk tidak menyerah pada keadaan. Keterbatasan bukanlah batasan untuk terus maju menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik.
Di Indonesia, ada banyak sekali perpustakaan yang jumlahnya lebih dari ratusan ribu buah. Meski demikian, saya berkeyakinan bahwa di antara banyaknya perpustakaan tersebut, masih banyak pula perpustakaan yang keberadaannya seperti tidak ada. Antara hidup dan mati. Untuk itu lah, buku Capacity Building Perpustakaan ini mejadi penting untuk dibaca oleh setiap pengelola perpustakaan.

            Dalam hal ini, saya juga menambahkan agar pengelola perpustakaan harus meniru perilaku ayam. Sebagaimana diungkapkan oleh pepatah negeri Malaysia, tirulah perilaku ayam yang hanya bertelur satu butir tapi riuhnya sekampung. Janganlah tiru perilaku penyu yang bertelur ribuan namun senyap-senyap. Saya menekankan bahwa sekecil apapun kegiatan yang ada di perpustakaan sudah seharusnya untuk disuarakan dan dipromosikan keluar agar masyarakat kenal sekaligus tahu bahwa kita ada. Hal ini dapat dilakukan melalui beragam cara, mulai dari menggunakan media sosial, menulis di media massa, dan lainnya. Tentu, hal itu semua bisa dilakukan jika kita semua memiliki kreatifitas dan terus mau belajar.

Yogyakarta, 16 Desember 2015