HIJRAH DENGAN MEMBACA
Oleh: Moh. Mursyid
Saat ini umat Islam di seluruh dunia tengah memasuki Tahun Baru Hijriyah 1439 H. Peristiwa pergantian Tahun Hijriyah menjadi renungan bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa. Peristiwa Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada 622 M menjadi titik awal kebangkitan umat Islam dalam menorehkan sejarah peradaban dunia dan karenanya diperingati sebagai pergantian tahun dalam Islam.
Dalam arti sederhana, hijrah tidak sekadar dimaknai berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi juga bentuk perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Ketika yang terjadi sebaliknya, kemunduruan, kejumudan, dan ketertinggalan, maka pertanda kehancuran sangat jelas di depan kita. Di sinilah kita akan termasuk golongan yang merugi dan gagal memaknai hijrah yang sebenarnya.
Spirit perubahan yang terkandung dalam hijrah dapat dijadikan sebagai modal penting untuk memperbaiki kondisi bangsa dalam segala lini, tidak terkecuali dalam hal minat baca. Sebagai bangsa besar dengan jumlah penduduk Islam yang terbanyak, seharusnya Indonesia mampu tampil sebagai negara yang memiliki tingkat minat baca tinggi. Hal ini dikarenakan umat Islam memiliki risalah keagamaan untuk membaca dan menulis sebagaimana dalam surat _al-‘Alaq_ ayat 1-5. Sayangnya, umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya mampu memaknai dan mengamalkan perintah ini dengan baik.
Di atas kertas, Indonesia selalu dikatakan sebagai negara yang memiliki minat baca rendah. Misalnya data dari _Most Littered Nation In the World_ yang dilakukan oleh _Central Connecticut State Univesity_ pada Maret 2016 lalu menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Dari tahun ke tahun belum ada perubahan signifikan terhadap budaya baca masyarakat Indonesia. Di tengah kondisi seperti inilah, spirit hijrah memiliki arti penting untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju dengan memegang teguh budaya baca.
*Gagasan*
Dalam sejarah umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah tokoh revolusioner sekaligus pelopor utama gerakan literasi. Di saat kemenangan umat Isam dalam perang Badr, Nabi Muhammad memiliki kebijakan untuk membebaskan seluruh tawanan perang dengan syarat setiap satu tawanan perang harus mengajari 10 umat muslim membaca dan menulis. Atas kebijakan ini para sahabat dan umat Islam mulai mengenal budaya baca tulis hingga akhirnya muncul nama-nama seperti Zaid bin Tsabit yang terkenal sebagai sekretaris wahyu. Dari sinilah peradaban literasi umat Islam mulai dibangun dan terus berkembang.
Islam adalah agama yang sangat menghormati ilmu dan pengetahuan. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan ini pula yang ditunjukkan oleh Bani Abbasyiyah di masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Pemimpin pemerintahan di waktu itu memiliki komitmen untuk menjadikan perpustakaan Baitul Hikmah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Gerakan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab dan kegiatan kajian ilmiah menjadikan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat di era itu.
Bertolak dari peristiwa sejarah tersebut dapat dipahami bahwa untuk menjadikan sebuah masyarakat dan bangsa maju, dibutuhkan terobosoan yang revolusioner. Dalam konteks bangsa ini, ada beberapa tawaran gagasan misalnya dengan menjadikan pemuda sebagai aktor penggerak literasi di lapisan masyarakat akar rumput, terutama di pelbagai pelosok daerah di Nusantara. Hal ini dapat diimplementasikan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun kegiatan pengabdian lain yang berbasis literasi. Sebagai agen perubahan, mahasiswa yang notabene para generasi penerus harus terus didorong dan didukung untuk turun ke lapisan masyarakat menyemarakkan minat baca.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong pelbagai kegiatan penelitian, penerjemahan buku-buku asing, serta penulisan cerita-cerita rakyat Indonesia secara masif. Buku-buku jenis tersebut tidak boleh diperjualbelikan, melainkan untuk disumbangkan dan didistribusikan ke pelbagai pelosok nusantara sehingga hal tersebut dapat membantu percepatan pembangunan manusia yang lebih berkualitas.
Akhirnya, darurat minat baca bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa berpangku tangan kepada satu pihak saja. Semangat hijrah di tahun baru Hijriyah 1439 H ini menjadi bekal penting untuk kembali membahu, merapatkan barisan, sekaligus berlomba-lomba dalam memperbaiki kondisi minat baca masyarakat Indonesia.
Yogyakarta, 21 September/ 1 Muharram 1439 H
Oleh: Moh. Mursyid
Saat ini umat Islam di seluruh dunia tengah memasuki Tahun Baru Hijriyah 1439 H. Peristiwa pergantian Tahun Hijriyah menjadi renungan bersama untuk memperbaiki kondisi bangsa. Peristiwa Hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah pada 622 M menjadi titik awal kebangkitan umat Islam dalam menorehkan sejarah peradaban dunia dan karenanya diperingati sebagai pergantian tahun dalam Islam.
Dalam arti sederhana, hijrah tidak sekadar dimaknai berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi juga bentuk perubahan ke arah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Ketika yang terjadi sebaliknya, kemunduruan, kejumudan, dan ketertinggalan, maka pertanda kehancuran sangat jelas di depan kita. Di sinilah kita akan termasuk golongan yang merugi dan gagal memaknai hijrah yang sebenarnya.
Spirit perubahan yang terkandung dalam hijrah dapat dijadikan sebagai modal penting untuk memperbaiki kondisi bangsa dalam segala lini, tidak terkecuali dalam hal minat baca. Sebagai bangsa besar dengan jumlah penduduk Islam yang terbanyak, seharusnya Indonesia mampu tampil sebagai negara yang memiliki tingkat minat baca tinggi. Hal ini dikarenakan umat Islam memiliki risalah keagamaan untuk membaca dan menulis sebagaimana dalam surat _al-‘Alaq_ ayat 1-5. Sayangnya, umat Islam di Indonesia belum sepenuhnya mampu memaknai dan mengamalkan perintah ini dengan baik.
Di atas kertas, Indonesia selalu dikatakan sebagai negara yang memiliki minat baca rendah. Misalnya data dari _Most Littered Nation In the World_ yang dilakukan oleh _Central Connecticut State Univesity_ pada Maret 2016 lalu menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Dari tahun ke tahun belum ada perubahan signifikan terhadap budaya baca masyarakat Indonesia. Di tengah kondisi seperti inilah, spirit hijrah memiliki arti penting untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang maju dengan memegang teguh budaya baca.
*Gagasan*
Dalam sejarah umat Islam, Nabi Muhammad SAW adalah tokoh revolusioner sekaligus pelopor utama gerakan literasi. Di saat kemenangan umat Isam dalam perang Badr, Nabi Muhammad memiliki kebijakan untuk membebaskan seluruh tawanan perang dengan syarat setiap satu tawanan perang harus mengajari 10 umat muslim membaca dan menulis. Atas kebijakan ini para sahabat dan umat Islam mulai mengenal budaya baca tulis hingga akhirnya muncul nama-nama seperti Zaid bin Tsabit yang terkenal sebagai sekretaris wahyu. Dari sinilah peradaban literasi umat Islam mulai dibangun dan terus berkembang.
Islam adalah agama yang sangat menghormati ilmu dan pengetahuan. Sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11 bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan ini pula yang ditunjukkan oleh Bani Abbasyiyah di masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid. Pemimpin pemerintahan di waktu itu memiliki komitmen untuk menjadikan perpustakaan Baitul Hikmah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Gerakan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab dan kegiatan kajian ilmiah menjadikan ilmu pengetahuan sangat berkembang pesat di era itu.
Bertolak dari peristiwa sejarah tersebut dapat dipahami bahwa untuk menjadikan sebuah masyarakat dan bangsa maju, dibutuhkan terobosoan yang revolusioner. Dalam konteks bangsa ini, ada beberapa tawaran gagasan misalnya dengan menjadikan pemuda sebagai aktor penggerak literasi di lapisan masyarakat akar rumput, terutama di pelbagai pelosok daerah di Nusantara. Hal ini dapat diimplementasikan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun kegiatan pengabdian lain yang berbasis literasi. Sebagai agen perubahan, mahasiswa yang notabene para generasi penerus harus terus didorong dan didukung untuk turun ke lapisan masyarakat menyemarakkan minat baca.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong pelbagai kegiatan penelitian, penerjemahan buku-buku asing, serta penulisan cerita-cerita rakyat Indonesia secara masif. Buku-buku jenis tersebut tidak boleh diperjualbelikan, melainkan untuk disumbangkan dan didistribusikan ke pelbagai pelosok nusantara sehingga hal tersebut dapat membantu percepatan pembangunan manusia yang lebih berkualitas.
Akhirnya, darurat minat baca bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama. Kita tidak bisa berpangku tangan kepada satu pihak saja. Semangat hijrah di tahun baru Hijriyah 1439 H ini menjadi bekal penting untuk kembali membahu, merapatkan barisan, sekaligus berlomba-lomba dalam memperbaiki kondisi minat baca masyarakat Indonesia.
Yogyakarta, 21 September/ 1 Muharram 1439 H