Writer Librarian

Pustakawan dan Pelaku Usaha

Writer Librarian

Menyingkat Alamat Website dengan URL Shortener

Gerakan Literasi Mencerdaskan Negeri

Dari Jogja untuk Nusantara. Kitab Sakti bagi setiap penggerak literasi di Indonesia

Buku Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi

Buku ini berisi kumpulan opini yang sudah diterbitkan di media massa (surat kabar). Berisi tentang Budaya Baca, Perpustakaan, Pendidikan, Sosial, dan Teknologi.

Bedah Buku Perpustakaan

Bedah Buku Capacity Building Perpustakaan karya Muhsin Kalida, 12 Desember 2015

Monday, January 11, 2016

PUSTAKAWAN BLOGGER

Bagi sebagian orang menulis merupakan sebuah kegiatan yang teramat susah, menguras pikiran dan juga waktu. Namun, bagi sebagian orang yang sudah terbiasa menulis, kegiatan menulis teramatlah sangat mudah. Ungkapan Jawa mengatakan, biso jalaran soko kulino. Ya, itulah kiranya kalimat yang pas untuk menggambarkan kegiatan menulis. Semakin sering dilakukan, maka tidak ada kata ‘sulit’ dalam menulis.

Dalam menulis, ada banyak sekali media yang bisa digunakan sebagai wadah menulis. Mulai dari yang konvensional seperti buku dan media massa, sampai dengan media digital (online) seperti blog, website, dan sebagainya.

Salah satu media penulisan yang menarik untuk disimak adalah blog. Blog merupakan salah satu media penulisan online yang bersifat gratis. Artinya, setiap orang di sini bisa memiliki blognya masing-masing. Jika analogikakan, blog ini semacam buku catatan pribadi kita. Penggunanya pun sangat beragam, mulai dari remaja hingga orang dewasa.

Melalui blog, seseorang bisa menyalurkan ide menulisnya dengan lebih mudah. Setiap tulisan yang ada di blog bebas terbit tanpa ada proses seleksi panjang seperti halnya dalam media masa (surat kabar). Untuk itu, isi/ kontent yang ada blog 100% menjadi tanggung jawab si penulisnya. Ada juga yang mengatakan bahwa blog ini bisa difungsikan sebagai media jurnalisme warga (citizen journalism) di mana setiap orang atau lapisan masyarakat dapat menginfokan segala sesuatu dengan mudah.

Meski demikian, blog ini memiliki dua mata sisi uang. Blog bisa jadi positif jika digunakan secara arif dan bijak oleh penggunanya. Namun, blog juga bisa bernilai negatif jika disalahgunakan oleh penggunanya, misalnya untuk penyebaran pornografi, penipuan, dan sebagainya.
***

Kali ini, saya berkesempatan menimba ilmu dan juga pengalaman dari seorang pustakawan yang sudah lama berkecimpung dalam dunia blog. Dia adalah Mas Murad Maulana, seorang pustakawan blogger yang bekerja di salah satu instansi pemerintah dan kini sedang meyelesaikan studinya di Program Magister Ilmu Perpustakaan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Saya pertama kali kenal dengan Mas Murad (demikian saya memanggilnya) melalui media sosial facebook. Dan akhirnya, tanpa sengaja kita dipertemukan di Rumah Maiyah di Jl. Wates Km. 2,5 sewaktu ada acara temu kangen MIP UGM Yogyakarta. Waktu itu, saya bekerja di Rumah Maiyah sehingga saya bisa turut hadir dalam acara temu kangen keluarga besar MIP UGM Yogyakarta tersebut. Setelah acara tersebut, kami sering ngobrol lewat facebook sehingga pada suatu ketika, kami memutuskan untuk saling bertukar karya.

Ada salah satu karya menarik Mas Murad, yaitu buku berjudul Motivasi Go Blog: Semangat Menulis Blogger Pemburu Dolar. Karya tersebut merupakan karya ketiga dari semua buku yang ditulis oleh Mas Murad. Dari judul bukunya, tentu kita sudah bisa menebak apa isi dari buku tersebut. Ya..., ini bukan buku kepustakawanan, melainkan buku yang banyak bicara bagaimana seseorang menulis di blog. Tidak hanya sekadar menulis, tetapi juga bisa menghasilkan penghasilan (dolar).

Ketika kami ngobrol, Mas Murad sempat cerita bahwa ia sudah nge-blog selama kurang lebih 7 tahunan. Selama itu, ia mengalami proses jatuh bangun dan pernah juga selama 3 tahun tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan ngeblog. Proses yang luar biasa (dalam batin saya). Namun, jerih payah Mas Murad pun berbuah manis. Dari kegiatan ngeblog, ia bisa membiayai Ibunya pergi menunaikan haji (jangan dibayangkan berapa besar pendapatan dari ngeblognya ya..., sudah tentu jumlahnya tidak sedikit.., hehehe).

Ia pun berpendapat bahwa, seharusnya, blog ini bisa menjadi penghasilan tambahan bagi para pustakawan di Indonesia. Bahan bacaan yang ada di perpustakaan menjadi aset penting untuk dijadikan tulisan di dalam blog. Sayangnya, hingga kini belum banyak pustakawan yang tahu dan mau untuk menulis di blog. “Ketimbang pada ngeluh masalah gaji, mending nulis saja di blog..hehehe” demikian ujarnya.

Terlepas dari materi yang didapatkan dari kegiatan nge-blog, Mas Murad merupakan salah satu dari sekian banyak pustakawan yang mau menulis. Ada banyak tips yang diberikan oleh Mas Murad dalam bukunya tersebut. Salah satu pesan yang disampaikan oleh Mas Murad adalah, menulis itu investasi. Jadi, gunakanlah blog itu sebaik mungkin untuk kebaikan orang banyak.


Demikian cuplikan obrolan saya dengan Mas Murad. Tak lupa, dia akhir obrolan, kami menyempatkan berfoto bareng sekaligus saling bertukar karya.. J ^_^

Friday, January 8, 2016

Sepucuk Surat dari Universitas Malaya


Sore hari, tepatnya tanggal 7 Desember 2015, saya iseng maen  ke Penerbit Ladang Kata di daerah Basen Kotagede. Aslinya sih ndak hanya sekadar maen saja, tetapi mau mengurus penerbitan naskah yang harus terbit bulan Desember 2015.hehe..., Bulan Desember kemarin merupakan bulan kejar tayang. Bagaimana tidak, dalam satu bulan ada lima naskah yang harus terbit. Mulai dari naskah saya pribadi yang berjudul Be a Writer Librarian: Strategi Jitu Menjadi Penulis Kreatif bagi Pustakawan, sampai dengan naskah kompilasi antara saya dengan teman-teman pustakawan lain yang berjudul Budaya Baca di Era Digital dan Bangga Menjadi Pustakawan. Dua naskah lainnya adalah milik rekan kami yang berjudul Pustakawan dan Angka Kredit: Bekal Sukses Profesi Pustakawan karya Bu Tri Hardiningtyas (Pustakawan UNS) dan Melayani Suami Sampai Surga: 10 Ikhtiar Seorang Istri karya Bu Heni Murawi (Gubernur TBM Prov. Jawa Barat). Meski demikian, tetapi disyukuri. Senang rasanya bisa membantu terbitnya karya-karya luar biasa dari orang luar biasa pula.

Balik lagi ke masalah surat. Ketika datang di Ladang Kata, seorang teman yang bekerja di Ladang Kata menceritakan bahwa ada kiriman surat dari Malaysia. Sayapun kaget campur senang. Dalam benak saya, surat apa gerangan? Kok jauh-jauh dari Malaysia. Semoga surat yang membawa kabar bahagia (batinku berkata).
Setelah surat tersebut saya terima, saya melihat surat tersebut terdapat KOP Universitas Malaya. Kembali saya meneliti.., apakah benar surat itu untuk saya?.
Akhirnya, saya pun membuka surat tersebut. dan ternyata.............

Hehe, surat tersebut memang benar untuk diri saya. Isi dari surat tersebut adalah ucapat terimakasih atas kiriman buku yang saya yang berjudul Pustakawan dan Media Massa: dari Interaksi ke Dokumentasi (2015). Buku tersebut saya kirim lewat seorang teman dari Jogja yang kebetulan sedang magang di Universitas Malaysia, Malaysia. Bulan Oktober lalu. saya sedang ada kunjungan ke Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) untuk mengikuti training sekaligus melakukan miniriset di Perpustakaan Komuniti.
Sebelum berangkat ke Malaysia, saya sempat berkomunikasi dengan Kepala Perpustakaan dari Univeritas Malaya, Dr. Edzan Natsir, agar bisa bertemu di PNM. Sebelum berangkat, saya memang sudah menyiapkan buku karya saya untuk saya hadiahkan pada saat di Malaysia. Namun, ternyata Dr. Edzan pada hari itu ada keperluan lain sehingga belum berkesempatan bertemu. Walhasil, saya menitipkan buku tersebut lewat teman saya yang sedang magang di Perpustakaan Universitas Malaysia.
Bulan Oktober pun berlalu, dan sampailah pada tanggal 7 Desember 2015. Sepucuk surat saya terima dari Universitas Malaya berbubuhkan tanda tangan dari Dr. Edzan. Saya pun berucap syukur, buku kiriman saya sudah diterima oleh Dr. Edzan. Dan ternyata, buku tersebut menjadi salah satu koleksi di perpustakaan Universitas Malaya.
Saat menerima surat tersebut, terbesit doa dalam hati saya. Semoga suatu saat nanti, saya bisa datang ke sana kembali dan dengan melanjutkan studi saya. Ada dua sosok hebat yang saya kenal di Universitas Malaya, yaitu Dr. Edzan Natsir dan Prof. Lim Peng Han. Keduanya saya jumpai pada waktu di event perpustakaan tingkat ASEAN, CONSAL XVI di Bangkok, Thailand pada bulan Juni 2015 yang lalu.

Sepucuk surat yang membawa semangat...

Sepucuk surat yang menjadi motivasi untuk terus berkarya dan berbagi....


Berbagi karya, berbagi ilmu, dan berbagi pengetahuan...

Thursday, January 7, 2016

Jangan Biarkan Perpustakaan Mati


Senang sekali rasanya pada hari Rabu 16 Desember 2015 pukul 09.00-12.00 WIB, saya berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam acara bedah buku Capacity Building Perpustakaan buah karya Pak Muhsin Kalida, dosen UIN Sunan Kalijaga sekaligus gubernur Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Prov. D.I. Yogyakarta.

Rasa senang tersebut kiranya bukan sekadar karena saya dipercaya sebagai pembedah buku tersebut, tetapi juga karena kesempatan berbagi dan bersilaturhim kepada para pengelola perpustakaan dan TBM serta pegiat budaya baca yang ada di Jogja dan wilayah sekitarnya. Ya, tidak kurang dari 70 peserta yang hadir dalam acara tersebut. Mulai dari mahasiswa, pengelola perpustakaan, pengelola TBM dan juga para pegiat budaya baca. Ini lah kesempatan yang saya maksudkan. Kesempatan untuk berkenalan dengan lebih banyak orang yang mempunyai misi yang sama.

Dalam kesempatan ini pula, saya bertemu dengan para senior saya, yaitu Mas Arsidi dan juga Mas Purwoko. Keduanya adalah senior saya yang kiranya tidak diragukan lagi pengalaman dan kiprahnya. Tak lupa, saya pun menyempatkan berfoto dengan keduanya..., he he he (kesempatan langka bisa berfoto dengan keduanya secara bersamaan)




 ***
Masuk pada inti acara, Bapak Said Hasan Basri selaku Ketua Jurusan Bimbingan Konseling Islam memberikan sambutan sekaligus membuka acara bedah buku pada pagi hari itu. Dalam sambutannya, Pak Said mengemukakan bahwa budaya baca di Indonesia masih perlu digiatkan kembali. Berkaca pada negara-negara maju, kondisi budaya baca masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan sebuah bangsa. Untuk itu, hadirnya buku Capacity Building Perpustakaan ini diharapkan mampu memberikan solusi bagaimana mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh perpustakaan yang notabene sebagai sumber dan sarana informasi pengetahuan bagi masyarakat.

Selanjutnya, dalam sesi bedah buku, Pak Muhsin mengutarakan kegelisahannya terkait budaya baca di Indonesia yang tertinggal jauh dengan negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Nepal. Di lain sisi, banyak perpustakaan, terutama perpustakaan desa di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan klasik, mulai dari pendanaan (fundrising), kemitraan (networking), dan juga publikasi (publishing). Melihat beragam permasalahan itu lah kemudian Pak Muhsin tergerak untuk menulis buku Capacity Builidng Perpustakaan tersebut.

            Dalam pemaparannya, Pak Muhsin juga berpendapat bahwa, seharusnya semua pengelola perpustakaan dan TBM harus mengedepankan kreatifitas untuk memajukan lembaganya. Pasalnya, fenomena di lapangan masing menunjukkan banyaknya pengelola perpustakaan yang bergantung pada bantuan pemerintah. Akhirnya, perpustakaan akan hidup dan terdapat kegiatan hanya pada saat ada dana. Namun di saat tiada dana, maka perpustakaan tersebut stagnan dan mati. Jika yang terjadi demikian, rasanya sangat sulit menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat bawah.

            Melalui buku ini, Pak Muhsin Kalida mengajak kita semua untuk mengubah mindset “mengemis” menjadi “mengemas”. Ada banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan di perpustakaan yang bisa dikemas secara menarik. Jika kemasannya sudah menarik, maka orang-orang pasti akan tertarik dengan perpustakaan yang kita kelola.

            Menanggapi hal ini, saya berpendapat bahwa buku Capacity Building Perpustakaan ini bisa menjadi pijakan bagi pengelola perpustakaan, terutama perpustakaan desa maupun komunitas di mana dikelola secara swadaya oleh masyarakat, untuk tidak menyerah pada keadaan. Keterbatasan bukanlah batasan untuk terus maju menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik.
Di Indonesia, ada banyak sekali perpustakaan yang jumlahnya lebih dari ratusan ribu buah. Meski demikian, saya berkeyakinan bahwa di antara banyaknya perpustakaan tersebut, masih banyak pula perpustakaan yang keberadaannya seperti tidak ada. Antara hidup dan mati. Untuk itu lah, buku Capacity Building Perpustakaan ini mejadi penting untuk dibaca oleh setiap pengelola perpustakaan.

            Dalam hal ini, saya juga menambahkan agar pengelola perpustakaan harus meniru perilaku ayam. Sebagaimana diungkapkan oleh pepatah negeri Malaysia, tirulah perilaku ayam yang hanya bertelur satu butir tapi riuhnya sekampung. Janganlah tiru perilaku penyu yang bertelur ribuan namun senyap-senyap. Saya menekankan bahwa sekecil apapun kegiatan yang ada di perpustakaan sudah seharusnya untuk disuarakan dan dipromosikan keluar agar masyarakat kenal sekaligus tahu bahwa kita ada. Hal ini dapat dilakukan melalui beragam cara, mulai dari menggunakan media sosial, menulis di media massa, dan lainnya. Tentu, hal itu semua bisa dilakukan jika kita semua memiliki kreatifitas dan terus mau belajar.

Yogyakarta, 16 Desember 2015


Thursday, December 3, 2015

PROGRAM BUKU GRATIS

Belum lama ini, salah satu penerbit besar di Indonesia mengadakan program bagi-bagi buku sebanyak 200 judul buku. 
Penerbit tersebut adalah Bhuana Ilmu Populer (BIP) yang tergabung dalam Gramaedia group.Tentu hal ini menjadi momentum yang tak boleh dilewatkan bagi pengelola perpustakaan, taman bacaan maupun para pegiat minat baca yang mengelola komunitas baca. Hanya saja, program bagi-bagi buku ini terbatas untuk wilayah Pulau Jawa saja. Program seperti ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Jika tidak salah, Penerbit Gramedia tahun lalu juga mengadakan program csr berupa bagi-bagi buku untuk perpustakaan dan tamab bacaan yang ada di Indonesia.

daripada terlalu panjang penjelasannya, yukk simak langsung ketentuannya:


1. Rekomendasikan perpustakaan mandiri/ sekolah/ komunitas baca/ taman bacaan masyarakat ke email: csrpenerbitbip@gmail.com dengan SUBYEK #BIPKadoTahunBaru
2. Tulis data lengkap, yaitu:
- Nama dan alamat lengkap perpustakaan mandiri/ sekolah/komunitas baca/ taman bacaan masyarakat yang direkomendasikan
- Nama, Nomor ponsel, dan email penanggung jawab perpustakaan/ komunitas baca, dan
- Sertakan foto dan link social media atau blog yang berisi kegiatan perpustakaan atau komunitas baca tersebut
3. Tim Bhuana Ilmu Populer akan menyeleksi dan memilih 20 perpustakaan atau komunitas baca yang akan mendapatkan #BIPKadoTahunBaru masing-masing 200 judul buku berbeda
4. Perpustakaan atau komunitas baca yang terpilih akan dihubungi langsung oleh tim Bhuana Ilmu Populer
5. Bantuan buku #BIPKadoTahunBaru terbuka untuk perpustakaan/ komunitas di Pulau Jawa. Paket buku dapat diambil di toko Buku Gramedia terdekat yang telah ditunjuk oleh Bhuana Ilmu Populer
6. Batas pengajuan Rekomendasi  #BIPKadoTahunBaru sampai tanggal 20 Desember 2015. Pengumuman perpustakaan atau komunitas baca yang mendapatkan bantuan buku akan diumumkan pada tanggal 30 Desember 2015. Pengiriman buku akan dilakukan pada Minggu kedua Januari
7. untuk informasi lebih lanjut silakan mengirimkan pesan ke csrpenerbitbip@gmail.com

Sumber: diambil dari facebook Penerbit Bhuana Ilmu Populer (https://www.facebook.com/bhuana.i.populer?ref=ts&fref=ts)

Tuesday, November 24, 2015

7 Syarat Menjadi Penulis bagi Pustakawan

Jika Anda seorang pustakawan yang sedang belajar menjadi seorang penulis, terutama di media massa (surat kabar), ada beberapa syarat yang harus dimiliki. Apa saja syarat itu?. Silakan Simak video singkat saya ini:

Saturday, November 21, 2015

Mengembalikan Khitah Sekolah

Tulisan ini dimuat di Harian Umum Galamedia, Senin 16 Februari 2015

Mengembalikan Khitah Sekolah
Oleh: Moh Mursyid


Belum lama ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan kembali mengingatkan kepada seluruh jajaran pendidikan di Tanah Air agar menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan bagi siswa. Mendikbud juga mengutarakan bahwa lembaga pendidikan harus meniru filosofi yang telah digagas oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menjadikan lembaga pendidikannya sebagai taman, yaitu tempat yang penuh kebahagiaan dan kesenangan dalam belajar (Republika, 26/01/2015).
Apa yang dikatakan oleh Mendikbud ini harus diapresiasi. Bagaimanapun, potret sekolah dewasa ini masih jauh dari kesan menyenangkan bagi siswa. Beberapa waktu yang lalu misalnya, beragam kasus yang merenggut masa depan anak justeru terjadi di sekolah. Mulai dari kasus asusila oleh oknum guru hingga kekerasan antar pelajar. Mendikbud menyatakan bahwa pada bulan Oktober dan November 2014 tercatat ada 230 kasus kekerasan terhadap pelajar (Kompas, 1/12/14).
Hal ini membuktikan bahwa sekolah tidak hanya belum mampu menjadi tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar para siswa, tetapi juga belum dapat menanamkan nilai-nilai luhur atau budi pekerti dengan baik. Ironis.

Oase Keilmuan

Pada dasarnya, sekolah harus mampu menjadi oase bagi dahaga keilmuan bagi para siswa. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Ki Hajar Dewantara, sekolah adalah sebuah taman di mana seorang siswa dapat memilih dan memetik buah dan bunga sesuai dengan keinginannya. Obyek dari pendidikan adalah manusia, jadi proses pembelajaran yang ada di sekolah haruslah mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan (memanusiakan manusia seutuhnya).
Konsep pendidikan yang menyenangkan layaknya sebuah taman, selain ditanamkan oleh Ki Hajar Dewantara, sebelumnya telah diterapkan oleh Gurudev Rabindranath Tagore, seorang penyair masyhur di India. Pada tahun 1901 ia mendirikan Ashram Shantiniketan di India yang kini berubah menjadi Universitas Internasional Visva Bharati. Ashram Shantiniketan adalah semacam sekolah dengan asrama yang diciptakan dengan suasana kedamaian.
Lewat model pendidikan ini, mampu melahirkan sosok besar seperti Indira Gandhi (Meteri India), dan Amatya Sen (intelektual ekonom India dan peraih nobel). Selain itu, banyak pengajar terkenal dari seluruh dunia yang kemudian datang dan mengajar di universitas tersebut.
Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Proses pendidikan di Indonesia selama ini masih berlaku dengan sistem tanam buah. Secara sederhana, buah dapat dimaknasi sebagai produk jadi dari sebuah proses, sehingga siswa hanya disuguhi dengan produk jadi yang berwujud mata pelajaran dan rumus-rumus tanpa tau bagaimana prosesnya awal terjadinya. Representasi seorang siswa akan sama persis dengan apa yang disampaikan oleh gurunya. Hal ini pula yang menyebabkan kreatifitas anak tidak berkembang dan terjadi kejumudan.
Romo Mangung Wijaya dalam Toto Rahardjo (2014) sudah pernah mengingatkan bahwa sekolah harus bersifat integral menuju ke manusia yang seutuhnya. Dalam hal ini, watak dan karakter menjadi hasil primer dari pendidikan. Kecerdasan dan keterampilan adalah hal penting dalam pembelajaran, namun selama proses pendidikan tersebut tidak mampu mendidik siswa menjadi manusia yang budiman, maka proses pendidikan tersebut harus dinamakan gagal.

Sosok Guru

Untuk mewujudkan sekolah layaknya sebuah taman adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen pendidikan yang ada di sekolah. Sosok guru adalah sosok kunci yang memegang peran penting dalam proses pembelajaran tersebut. Sosok guru yang kreatif, terbuka (open mind) terhadap perubahan sangat dibutuhkan.
Melalui tangan para guru inilah nantinya yang akan menentukan suasana sekolah apakah layaknya sebuah taman atau penjara yang membelenggu anak dari kreatifitas. Menarik dan tidaknya sebuah proses pembelajaran tidak semata bertumpu pada buku teks pelajaran, melainkan bertumpu pada sosok guru yang mampu menyampaikan dengan menarik dan kreatif sehingga anak-anak menjadi lebih semangat dalam belajar.
Dengan demikian, sekolah akan mampu menjadi pintu gerbang bagi para generasi penerus bangsa menuju manusia seutuhnya yang berkarakter dan berbudi pekerti luhur. Bisakah hal tersebut kita wujudkan? Di sinilah kita perlu melihatnya kembali dalam upaya mengembalikan esensi pendidikan kepada khitah yang sesungguhnya, yaitu menjadi taman yang akan mewujudkan manusia seutuhnya. Semoga!.[]