Tuesday, November 17, 2015

Sekolah yang Menyenangkan

Sekolah yang Menyenangkan (By: Moh. Mursyid) Tulisan ini dimuat di Rubrik Opini Harian Suara Karya Edisi Selasa, 17 November 2015

Pendidikan yang menyenangkan adalah salah satu syarat untuk melahirkan manusia-manusia unggul dan pembelajar. Dengan pendidikan yang menyenangkan, seorang siswa akan semakin ketagihan dan merasa nyaman untuk belajar di sekolah. Ironisya, hingga kini masih banyak sekolah yang belum mampu menciptakan suasana pendidikan yang menyenangkan dan ramah bagi anak (siswa).

Setiap mendengar kata ‘pendidikan’, pikiran kita masih tertuju pada gedung sekolah, proses belajar-mengajar di kelas, dan beragam tugas sekolah yang harus diselesaikan setiap harinya. Jika demikian yang terjadi, maka yang muncul bukanlah kesan menyenangkan, melainkan ketegangan yang dapat menyedot seluruh energi dan pikiran. Proses pembelajaran berjalan stagnan dan tidak mendukung anak untuk mengembangkan bakat dan kreativitas dengan sepenuhnya.

Dalam berbagai kesempatan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, telah mengingatkan kepada seluruh elemen pendidikan di Indonesia agar menjadikan sekolah sebagai tempat belajar yang ramah anak serta menjadikan dunia pendidikan sebagai dunia yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia.

Berbicara tentang pendidikan yang menyenangkan dan ramah anak, hal ini erat kaitannya dengan pembentukan suasana belajar di sekolah yang notabene sebagai tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Di Indonesia, konsep pendidikan yang menyenangkan telah dicontohkan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara melalui model pendidikan Taman Siswa yang didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta.

Dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, Ki Hajar Dewantara menggunakan istilah ‘taman’ untuk menggambarkan proses penyelenggaraan pendidikan. Taman di sini dapat diartikan sebagai tempat bermain atau tempat belajar yang menyenangkan.

Dalam istilah ‘taman’ ini pula tidak terbatas pada jenis pendidikan formal saja, tetapi juga nonformal. Secara sederhana, pendidikan adalah sepenuhnya untuk rakyat tanpa adanya sekat pembatas antara miskin dan kaya, bodoh dan pintar. Semuanya berada dalam satu wadah, yaitu taman belajar yang menyenangkan.

Peran Guru

Pada dasarnya, untuk menciptakan sekolah yang ramah anak maka harus dibangun adanya proses revolusi hati, pikiran dan tindakan dari seluruh elemen pendidikan, terutama para guru. Guru adalah garda depan dalam mewujudkan suasana belajar yang menyenangkan di sekolah. Menarik dan tidaknya sebuah proses pembelajaran tidak semata bertumpu pada lembaran buku teks pelajaran, melainkan pada sosok guru yang mampu menyampaikan dengan menarik dan kreatif pesan pembelajaran tersebut sehingga anak-anak menjadi lebih semangat belajar.

Sayangnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses pembelajaran di sekolah masih terkesan satu arah dan menempatkan sosok guru sebagai sosok utama dan paling berkuasa dalam pembelajaran. Kondisi demikianlah yang akhirnya menjadikan siswa tidak berkembang dan minim kreativitas karena tidak ada hubungan timbal balik (feedback). Untuk itulah dibutuhkan adanya revolusi hati, pikiran dan tindakan untuk mewujudkan sosok guru yang tangguh, inspiratif dan kreatif.

Toto Rahardjo (2014: 25) menjelaskan bahwa suatu penyelenggaraan belajar-mengajar merupakan proses pendidikan yang harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran pelaku (objek) dari proses tersebut. Selanjutnya, proses pendidikan dan belajar seharusnya tidak bercorak menggurui karena dalam proses belajar-mengajar tidak ada ‘guru’ dan tidak ada ‘murid yang digurui’. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah ‘guru sekaligus murid’ pada saat bersamaan.

Dari sini dapat dilihat bahwa salah satu inti dari proses belajar-mengajar sebenarnya adalah proses komunikasi yang harmonis antara semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan tersebut. Proses komunikasi ini dapat diterapkan ke berbagai bentuk kegiatan yang dapat memungkinkan terjadinya ruang dialog antara guru dan siswa, misalnya diskusi kelompok dan belajar bersama di perpustakaan.

Proses komunikasi yang harmonis antara siswa dan guru ini sudah harus dibangun sejak tingkat sekolah dasar (SD). Pasalnya, di tingkat dasar inilah seorang siswa akan mendapatkan kesan awal dari proses pendidikan menarik atau tidak. Selain itu, di tingkat dasar ini pula menjadi fondasi awal peletakan dasar-dasar berpikir dan bersikap bagi para siswa.

Jika kesan menyenangkan ini tidak dibangun dengan baik sejak awal, maka yang muncul adalah kesan negatif bahwa sekolah bukan tempat yang menyenangkan untuk belajar. Bisa dibayangkan jika sedari tingkat dasar, seorang siswa sudah beranggapan bahwa sekolah adalah tempat yang tidak menarik untuk belajar? Maka, bukan tidak mungkin selama 12 (dua belas) tahun anak-anak hanya akan merasa berada di dalam penjara besar yang bernama ‘sekolah’[]

0 komentar:

Post a Comment