Thursday, January 7, 2016

Jangan Biarkan Perpustakaan Mati


Senang sekali rasanya pada hari Rabu 16 Desember 2015 pukul 09.00-12.00 WIB, saya berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam acara bedah buku Capacity Building Perpustakaan buah karya Pak Muhsin Kalida, dosen UIN Sunan Kalijaga sekaligus gubernur Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) Prov. D.I. Yogyakarta.

Rasa senang tersebut kiranya bukan sekadar karena saya dipercaya sebagai pembedah buku tersebut, tetapi juga karena kesempatan berbagi dan bersilaturhim kepada para pengelola perpustakaan dan TBM serta pegiat budaya baca yang ada di Jogja dan wilayah sekitarnya. Ya, tidak kurang dari 70 peserta yang hadir dalam acara tersebut. Mulai dari mahasiswa, pengelola perpustakaan, pengelola TBM dan juga para pegiat budaya baca. Ini lah kesempatan yang saya maksudkan. Kesempatan untuk berkenalan dengan lebih banyak orang yang mempunyai misi yang sama.

Dalam kesempatan ini pula, saya bertemu dengan para senior saya, yaitu Mas Arsidi dan juga Mas Purwoko. Keduanya adalah senior saya yang kiranya tidak diragukan lagi pengalaman dan kiprahnya. Tak lupa, saya pun menyempatkan berfoto dengan keduanya..., he he he (kesempatan langka bisa berfoto dengan keduanya secara bersamaan)




 ***
Masuk pada inti acara, Bapak Said Hasan Basri selaku Ketua Jurusan Bimbingan Konseling Islam memberikan sambutan sekaligus membuka acara bedah buku pada pagi hari itu. Dalam sambutannya, Pak Said mengemukakan bahwa budaya baca di Indonesia masih perlu digiatkan kembali. Berkaca pada negara-negara maju, kondisi budaya baca masyarakat berbanding lurus dengan kemajuan sebuah bangsa. Untuk itu, hadirnya buku Capacity Building Perpustakaan ini diharapkan mampu memberikan solusi bagaimana mengatasi kendala-kendala yang dihadapi oleh perpustakaan yang notabene sebagai sumber dan sarana informasi pengetahuan bagi masyarakat.

Selanjutnya, dalam sesi bedah buku, Pak Muhsin mengutarakan kegelisahannya terkait budaya baca di Indonesia yang tertinggal jauh dengan negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Nepal. Di lain sisi, banyak perpustakaan, terutama perpustakaan desa di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan klasik, mulai dari pendanaan (fundrising), kemitraan (networking), dan juga publikasi (publishing). Melihat beragam permasalahan itu lah kemudian Pak Muhsin tergerak untuk menulis buku Capacity Builidng Perpustakaan tersebut.

            Dalam pemaparannya, Pak Muhsin juga berpendapat bahwa, seharusnya semua pengelola perpustakaan dan TBM harus mengedepankan kreatifitas untuk memajukan lembaganya. Pasalnya, fenomena di lapangan masing menunjukkan banyaknya pengelola perpustakaan yang bergantung pada bantuan pemerintah. Akhirnya, perpustakaan akan hidup dan terdapat kegiatan hanya pada saat ada dana. Namun di saat tiada dana, maka perpustakaan tersebut stagnan dan mati. Jika yang terjadi demikian, rasanya sangat sulit menumbuhkan budaya baca di kalangan masyarakat bawah.

            Melalui buku ini, Pak Muhsin Kalida mengajak kita semua untuk mengubah mindset “mengemis” menjadi “mengemas”. Ada banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan di perpustakaan yang bisa dikemas secara menarik. Jika kemasannya sudah menarik, maka orang-orang pasti akan tertarik dengan perpustakaan yang kita kelola.

            Menanggapi hal ini, saya berpendapat bahwa buku Capacity Building Perpustakaan ini bisa menjadi pijakan bagi pengelola perpustakaan, terutama perpustakaan desa maupun komunitas di mana dikelola secara swadaya oleh masyarakat, untuk tidak menyerah pada keadaan. Keterbatasan bukanlah batasan untuk terus maju menjadikan kehidupan masyarakat lebih baik.
Di Indonesia, ada banyak sekali perpustakaan yang jumlahnya lebih dari ratusan ribu buah. Meski demikian, saya berkeyakinan bahwa di antara banyaknya perpustakaan tersebut, masih banyak pula perpustakaan yang keberadaannya seperti tidak ada. Antara hidup dan mati. Untuk itu lah, buku Capacity Building Perpustakaan ini mejadi penting untuk dibaca oleh setiap pengelola perpustakaan.

            Dalam hal ini, saya juga menambahkan agar pengelola perpustakaan harus meniru perilaku ayam. Sebagaimana diungkapkan oleh pepatah negeri Malaysia, tirulah perilaku ayam yang hanya bertelur satu butir tapi riuhnya sekampung. Janganlah tiru perilaku penyu yang bertelur ribuan namun senyap-senyap. Saya menekankan bahwa sekecil apapun kegiatan yang ada di perpustakaan sudah seharusnya untuk disuarakan dan dipromosikan keluar agar masyarakat kenal sekaligus tahu bahwa kita ada. Hal ini dapat dilakukan melalui beragam cara, mulai dari menggunakan media sosial, menulis di media massa, dan lainnya. Tentu, hal itu semua bisa dilakukan jika kita semua memiliki kreatifitas dan terus mau belajar.

Yogyakarta, 16 Desember 2015


0 komentar:

Post a Comment