’’BUKU adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran
manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan timbul
bahaya kerusakan yang sangat besar’’, demikian Ali Syariati mengemukakan
peran penting buku.
Buku adalah alat ilmiah dalam dunia pendidikan. Selama ini buku menjadi
sarana pembelajaran yang belum tergantikan oleh apa pun. Buku dan proses
pembelajaran ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Buku akan
menjadi bermanfaat jika digunakan untuk belajar, sedangkan proses
pembelajaran pun akan berjalan dengan maksimal jika ada buku.
Dewasa ini, pencorengan dunia pendidikan kembali terjadi. Fenomena ini
diwarnai dengan beredarnya buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang
menceritakan tentang kisah ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’ yang
mengandung cerita istri simpanan. Ironisnya, cerita pada buku LKS ini
diperuntukan kepada anak-anak kelas 2 SD, di mana saat usia anak mulai
belajar membaca dan memahami realita kehidupan. Apa yang mereka baca
akan berdampak pada perilaku mereka sehari-hari.
Jika kita merujuk pada apa yang diungkapkan Ali Syariati, cerita Bang
Maman bukan hanya sebuah racun mematikan bagi moral generasi penerus
bangsa, tetapi juga menjadi gambaran sejauh mana kondisi pendidikan di
Indonesia.
Selektif Memilih Buku
Sebagaimana kita ketahui, buku adalah jendela dunia, juga sebuah
samudera ilmu pengetahuan. Dengan menyelaminya, kita akan mendapatkan
hal-hal baru yang belum pernah kita temui sebelumnya. Buku juga sebuah
portal untuk memasuki dunia lain di mana kita tidak perlu susah payah
datang langsung ke tempat aslinya. Dalam sejarah, keberadaan buku
mendapatkan penghormatan yang sangat mulia. sebagaimana dikatakan oleh
Syekh Az-Zarnuji bahwa ’’sebagian dari memuliakan ilmu adalah dengan
memuliakan buku’’. Sebuah ungkapan sederhana namun sarat makna jika
dikaji lebih dalam.
Barbara Tuchman mengatakan, buku adalah mesin perubahan, jendela dunia,
mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Dan seorang teolog
Denmark, Thomas V Batholin, menambahkan, tanpa buku Tuhan diam, keadilan
terbenam, sains alam macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung
kegelapan. Karena dengan buku, kepribadian seseorang bisa terbentuk, dan
karena buku pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta.
Baik pihak sekolah maupun pemerintah harus saling membahu mengevaluasi
isi buku-buku yang diperuntukan bagi siswa. Misalnya buku- buku untuk
anak usia 5-8 tahun haruslah buku yang mempunyai nilai-nilai moral yang
kuat, misalnya tentang pentingnya persahabatan. Buku tentang
persahabatan jauh lebih penting dari pada buku tentang istri simpanan.
Buku-buku tersebut akan jauh lebih menarik jika disajikan dalam bentuk
picture books (buku bergambar) dan easy-to-read books (buku yang mudah
dibaca).
Krisis Moral
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlak mulia. Namun sekali lagi
fungsi ini tampak belum berjalan sebagaimana mestinya. Krisis moralitas
dan intelektualitas masih terus mewarnai dinamika pendidikan bangsa ini.
Mulai dari aksi tawuran antarsiswa hingga guru yang melakukan aksi
kekerasan terhadap muridnya.
Indonesia adalah bangsa yang besar serta kaya akan sejarah dan kekayaan
alam yang melimpah ruah. Selain itu, Indonesia mempunyai adat istiadat,
bahasa dan agama yang beraneka ragam. Nilai-nilai luhur bangsa seperti
ini lah yang seharusnya dimiliki dunia pendidikan kita.
Nilai-nilai luhur bangsa akan jauh lebih bermanfaat ketimbang cerita
’’Bang Maman dari Kali Pasir’’. Karena bagaimanapun, cerita ’’Bang Maman
dari Kali Pasir’’ adalah bentuk dari kemiskinan intelektualitas bangsa
ini yang harus dibuang jauh-jauh.
Sebagai langkah awal untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa adalah
melalui buku. Sekali lagi, buku menjadi sarana yang tepat untuk
menanamkan nilai-nilai luhur bangsa. Langkah ini harus diikuti oleh para
guru untuk gemar membaca. Bukan hanya seruan belaka untuk gemar
membaca, melainkan disertai dengan langkah nyata.
Sebagaimana pepatah Indonesia mengatakan ’’guru kencing berdiri, murid
kencing berlari’’. Jika seorang guru yang tidak suka membaca memberi
perintah kepada siswa untuk gemar membaca, bagaimana hal ini bisa
terlaksana? Seorang guru yang baik akan memberi teladan baik bagi
muridnya, beti pula sebalinya, guru yang tidak baik akan memberikan
teladan yang tidak baik.
Pendek kata, guru adalah panutan siswa. Untuk itu, seorang guru harus banyak membaca.
Selain memberi contoh kepada siswa, juga agar mengetahui isi buku yang
tepat untuk dibaca siswa. Memberi contoh kongkret adalah langkah yang
sangat berguna bagi siswa, karena dengan dimuali dari pribadi guru yang
gemar membaca akan membentuk karakter siswa untuk cinta baca, sehingga
mereka nantinya akan tumbuh jadi pribadi yang bijaksana.
Berkaitan dengan itu, seorang cerpenis dan novelis Austria, Franz Kafka,
mengatakan, buku harus menjadi kampak untuk menghancurkan lautan beku
di dalam diri kita.
Dimuat di Koran Suara Merdeka 05 Mei 2012
Monday, December 31, 2012
Ketika Buku Menjadi Racun
Related Posts:
SOEKARNO DAN TRADISI INTELEKTUAL Normal 0 false false false EN-US X-NONE AR-SA … Read More
Inovasi Pembelajaran di Pesantren DALAM konteks pendidikan, baik formal maupun nonformal, keberadaan perpustakaan menempati posisi strategis dalam meningkatkan kualitas intelektual… Read More
Mendekatkan Siswa dengan Buku Baru saja kita memperingati Hari Buku dan Hak Cipta atau yang lebih dikenal dengan Hari Buku Dunia (World Book Day), 23 April. Acara tahunan … Read More
Ketika Buku Menjadi Racun ’’BUKU adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran manusia. Jika buku mengandung … Read More
Memaksimalkan Perpustakaan MEI kemarin, dikenal sebagai bulan buku. Ada beberapa hari penting di bulan Mei, di antaranya tanggal 17 Mei yang diperingati sebagai Hari Jadi Pe… Read More
0 komentar:
Post a Comment