Monday, December 31, 2012

Ketika Buku Menjadi Racun

’’BUKU adalah makanan bagi jiwa dan pikiran. Buku juga bagaikan obat bagi penyakit yang mendera perasaan dan pikiran

manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar’’, demikian Ali Syariati mengemukakan peran penting buku.

Buku adalah alat ilmiah dalam dunia pendidikan. Selama ini buku menjadi sarana pembelajaran yang belum tergantikan oleh apa pun. Buku dan proses pembelajaran ibarat dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Buku akan menjadi bermanfaat jika digunakan untuk belajar, sedangkan proses pembelajaran pun akan berjalan dengan maksimal jika ada buku.

Dewasa ini, pencorengan dunia pendidikan kembali terjadi. Fenomena ini diwarnai dengan beredarnya buku Lembar Kerja Siswa (LKS) yang menceritakan tentang kisah ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’ yang mengandung cerita istri simpanan. Ironisnya, cerita pada buku LKS ini diperuntukan kepada anak-anak kelas 2 SD, di mana saat usia anak mulai belajar membaca dan memahami realita kehidupan. Apa yang mereka baca akan berdampak pada perilaku mereka sehari-hari.

Jika kita merujuk pada apa yang diungkapkan Ali Syariati, cerita Bang Maman bukan hanya sebuah racun mematikan bagi moral generasi penerus bangsa, tetapi juga menjadi gambaran sejauh mana kondisi pendidikan di Indonesia.

Selektif Memilih Buku

Sebagaimana kita ketahui, buku adalah jendela dunia, juga sebuah samudera ilmu pengetahuan. Dengan menyelaminya, kita akan mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah kita temui sebelumnya. Buku juga sebuah portal untuk memasuki dunia lain di mana kita tidak perlu susah payah datang langsung ke tempat aslinya. Dalam sejarah,  keberadaan buku mendapatkan penghormatan yang sangat mulia. sebagaimana dikatakan oleh Syekh Az-Zarnuji bahwa ’’sebagian dari memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan buku’’. Sebuah ungkapan sederhana namun sarat makna jika dikaji lebih dalam.

Barbara Tuchman mengatakan, buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu. Dan seorang teolog Denmark, Thomas V Batholin, menambahkan, tanpa buku Tuhan diam, keadilan terbenam, sains alam macet, sastra bisu, dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan buku, kepribadian seseorang bisa terbentuk, dan karena buku pula, peradaban suatu bangsa akan tercipta.

Baik pihak sekolah maupun pemerintah harus saling membahu mengevaluasi isi buku-buku yang diperuntukan bagi siswa. Misalnya buku- buku untuk anak usia 5-8 tahun haruslah buku yang mempunyai nilai-nilai moral yang kuat, misalnya tentang pentingnya persahabatan. Buku tentang persahabatan jauh lebih penting dari pada buku tentang istri simpanan. Buku-buku tersebut akan jauh lebih menarik jika disajikan dalam bentuk picture books (buku bergambar) dan easy-to-read books (buku yang mudah dibaca).

Krisis Moral

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlak mulia. Namun sekali lagi fungsi ini tampak belum berjalan sebagaimana mestinya. Krisis moralitas dan intelektualitas masih terus mewarnai dinamika pendidikan bangsa ini. Mulai dari aksi tawuran antarsiswa hingga guru yang melakukan aksi kekerasan terhadap muridnya.

Indonesia adalah bangsa yang besar serta kaya akan sejarah dan kekayaan alam yang melimpah ruah. Selain itu, Indonesia mempunyai adat istiadat, bahasa dan agama yang beraneka ragam. Nilai-nilai luhur bangsa seperti ini lah yang seharusnya dimiliki dunia pendidikan kita.

Nilai-nilai luhur bangsa akan jauh lebih bermanfaat ketimbang cerita ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’. Karena bagaimanapun, cerita ’’Bang Maman dari Kali Pasir’’ adalah bentuk dari kemiskinan intelektualitas bangsa ini yang harus dibuang jauh-jauh.

Sebagai langkah awal untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa adalah melalui buku. Sekali lagi, buku menjadi sarana yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai luhur bangsa. Langkah ini harus diikuti oleh para guru untuk gemar membaca. Bukan hanya seruan belaka untuk gemar membaca, melainkan disertai dengan langkah nyata.

Sebagaimana pepatah Indonesia mengatakan ’’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’’. Jika seorang guru yang tidak suka membaca memberi perintah kepada siswa untuk gemar membaca, bagaimana hal ini bisa terlaksana? Seorang guru yang baik akan memberi teladan baik bagi muridnya, beti pula sebalinya, guru yang tidak baik akan memberikan teladan yang tidak baik.

Pendek kata, guru adalah panutan siswa. Untuk itu, seorang guru harus banyak membaca.

Selain memberi contoh kepada siswa, juga agar mengetahui isi buku yang tepat untuk dibaca siswa. Memberi contoh kongkret adalah langkah yang sangat berguna bagi siswa, karena dengan dimuali dari pribadi guru yang gemar membaca akan membentuk karakter siswa untuk cinta baca, sehingga mereka nantinya akan tumbuh jadi pribadi yang bijaksana.

Berkaitan dengan itu, seorang cerpenis dan novelis Austria, Franz Kafka, mengatakan, buku harus menjadi kampak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri kita.

Dimuat di Koran Suara Merdeka 05 Mei 2012

0 komentar:

Post a Comment